Menurut dia, hal itu disebabkan karena proses persidangan yang memang panjang dan memerlukan waktu yang banyak.
"Berdasarkan risalah persidangan, sekurang-kurangnya telah digelar 12 kali persidangan sepanjang Desember 2019 hingga 23 September 2020," kata Fajar melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Selasa (20/4/2021).
Baca juga: Eks Pimpinan KPK Heran MK Belum Juga Putuskan Hasil Uji Materi UU KPK
Fajar menjelaskan, setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan sebanyak 12 kali, MK akan membahasnya dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Namun, RPH terhenti sementara karena MK harus fokus menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dimulai pada 23 Desember 2020.
"Dalam masa tersebut, mengingat perkara perselisihan hasil pilkada harus selesai dalam jangka waktu 45 hari kerja sejak permohonan diregistrasi, maka praktis MK fokus dan berkonsentrasi penuh mengadili perkara perselisihan hasil pilkada," ujarnya.
Namun, lanjut Fajar, kini proses persidangan uji materi UU sudah dimulai kembali, apabila dihitung sejak batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak pada 1 Oktober 2020, sampai awal masa gugus tugas penanganan perkara perselisihan hasil pilkada pada 23 Desember 2020, MK melakukan pembahasan perkara a quo dalam RPH dalam jangka kurang dari tiga bulan.
Baca juga: Mahfud Duga Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Berkaitan dengan Revisi UU KPK
Jangka waktu tersebut, ia nilai, masih dalam batas kewajaran mengingat isu konstitusional perkara UU KPK membutuhkan konsentrasi, kecermatan, kehati-hatian, serta diskusi berbobot di antara hakim konstitusi di dalam RPH.
"Kesemua hal tersebut dilaksanakan secara patut, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan," ucap Fajar.
Ugal-ugalan
Adapun sejumlah pegiat antikorupsi juga terdaftar sebagai pemohon, antara lain Ismid Hadad, Tini Hadad dan Betty Alisjahbana.
Ismid Hadad mengatakan, MK mesti mengabulkan uji materi UU KPK agar DPR dan Pemerintah tidak lagi ugal-ugalan dalam menyusun undang-undang.
Sebab, setelah berhasil mengesahkan revisi UU KPK, DPR telah meloloskan sejumlah UU yang dianggap kontroversial karena dibahas secara kilat dan senyap.
Ismid mencontohkan revisi UU Mineral dan Batubara, UU Mahkamah Konstitusi dan UU Cipta Kerja yang akhirnya menciptakan gelombang protes di sejumlah wilayah.
Baca juga: Kontroversi Pembentukan Undang-undang dan Bertambahnya Pengujian di MK
"Kenapa proses ini penting sekali diuji kembali dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi? Karena para pembuat, penyusun, dan pembentuk UU yaitu DPR bersama dengan pemerintah, sekarang ini melakukan proses pembuatan undang-undang itu dengan cara-cara yang semakin seenaknya sendiri," kata Ismid.
"Saya bilang bahkan dengan cara-cara yang sembrono, ugal-ugalan, terburu-buru, dan sama sekali tidak peduli kepada suara rakyat," tutur dia.
Menurut Ismid, sikap seenaknya tersebut tidak lepas dari catatan bahwa MK belum pernah mengabulkan permohonan uji formil atas sebuah undang-undang.
Ismid pun berharap MK dapat menegakkan marwahnya dengan mengabulkan gugatan uji formil UU yang proses penysunanannya bermasalah, termasuk UU KPK.
"Kami mohon kepada Mahkamah Konstitusi agar dihentikan kesan dan citra dari Mahkamah Konstitusi diperlakukan hanya sekadar sebagai cuci piring yang kotor yang dilakukan oleh para anggota DPR dan juga dibenarkan oleh Pemerintah untuk produk UU yang hasilnya jorok dan merugikan masyarakat," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.