JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode adalah hal yang inkonstitusional.
Sebab, menurut dia, hal itu akan melanggar Pasal 7 dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang tegas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden menjabat selama lima tahun dan hanya bisa diperpanjang sebanyak satu kali.
"Jadi sekarang kalau kemudian kita ingin menjawab apakah wacana atau usulan untuk mengajukan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau tiga kali lima tahun itu dipastikan itu sesuatu yang inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi," kata Fadli dalam diskusi daring, Rabu (14/4/2021).
Baca juga: Dualisme di Tubuh Demokrat Dinilai Tak Terkait Isu Perubahan Masa Jabatan Presiden
Fadli menjelaskan, jika ingin merelisasikan wacana tersebut harus melalui proses amandemen konstitusi UUD 1945.
Saat ini pun, lanjut dia, wacana untuk melakukan amandemen UUD 1945 juga masih terdengar di sejumlah kelompok di partai politik.
"Meskipun tidak langsung kepada masa jabatan presiden. Masuk melalui pintu usulan-usulan di aspek yang lain," ujarnya.
"Melalui GBHN misalnya atau melalui penataan kewenangan lembaga negara dan juga beberapa isu-isu yang lain yang kemudian diusulkan untuk kemudian buka melalui proses amandemen," lanjut dia.
Fadli juga menilai upaya atau wacana untuk membuat masa jabatan presiden menjadi tiga periode ini bertentangan dengan semangat reformasi.
Menurut dia, fokus reformasi salah satunya adalah membatasi masa jabatan agar tidak dipimpin oleh satu aktor politik.
"Kita kan punya pengalaman yang sangat cukup bagaimana kemudian masa jabatan presiden itu dipegang oleh satu orang dalam jangka waktu yang sangat lama selama Orde Baru 32 tahun," ungkapnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.