JAKARTA, KOMPAS.com - Fraksi Nasdem mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset).
Wakil Ketua Fraksi Nasdem Willy Aditya menilai saat ini, upaya perampasan aset yang berasal dari tindak pidana dan merugikan keuangan negara masih terkendala dengan terbatasnya aturan formal.
"Saya melihat RUU Perampasan Aset ini akan menjadi alternatif terobosan untuk menekan angka kejahatan yang berkenaan dengan tujuan memperkaya diri, kerabat, dan institusi," kata Willy, dalam siaran pers, Senin (22/2/2021).
"RUU ini dibutuhkan negara agar dapat menarik kembali hasil-hasil kejahatan dan rasa keadilan di publik juga terwujud," tutur dia.
Baca juga: Arah Politik Hukum dalam Pemberantasan Korupsi Dinilai Tidak Jelas
Willy menuturkan, peraturan hukum yang berlaku saat ini masih membatasi penegak hukum untuk menyelidiki harta yang diduga dari hasil kejahatan.
Akibatnya, banyak putusan atas tindak kejahatan yang dilakukan untuk memperkaya diri, pada akhirnya tidak dapat menyentuh motifnya.
"Terlebih lagi dalam kasus-kasus yang merugikan keuangan negara, hal ini justru tidak berkeadilan karena harta, uang, atau aset negara tetap tidak dapat kembali walaupun pelakunya sudah diputus bersalah," kata Willy.
Oleh karena itu, menurut Willy, RUU Perampasan Aset dapat menjadi jawaban bagi masyarakat yang geram dengan kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Anggota Komisi XI DPR itu berpandangan, perampasan aset jauh lebih penting dan berkeadilan ketimbang mengonstruksi hukuman mati.
Dalam penyusunan RUU Perampasan Aset, Willy mengatakan, perlu dua perangkat pokok, yakni definisi dan batasan aset yang dapat dirampas serta cara negara menegakkan aturan.
"Penting untuk segera melakukan pembahasan RUU ini secara formal karena pada dasarnya Indonesia sebenarnya sudah mengenal perampasan aset pidana sebagai pidana tambahan di berbagai UU terkait tindak pidana keuangan yang ada," kata dia.
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, KPK: Berdampak Positif terhadap Pemulihan Kerugian Negara
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR itu pun menilai RUU Perampasan Aset layak untuk dibahas dan menjadi prioritas.
Ia menuturkan, Kementerian Hukum dan HAM telah merampungkan naskah akademik atas RUU Perampasan Aset pada 2012, tetapi pembahasan RUU itu terus ditunda.
"Kelengkapan teknis untuk menjadi salah satu RUU Prioritas sudah terpenuhi. DPR tentu akan sangat menerima baik Surat Presiden atas pengusulan RUU ini secara formal," kata Willy.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta Kemenkumham mendorong RUU Perampasan Aset masuk daftar Prolegnas Prioritas.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menyampaikan hal tersebut saat bertemu Menkumham Yasonna Laoly di kantor Kemenkumham, Senin (15/2/2021).
Baca juga: PPATK Minta Pemerintah Dorong RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas
RUU Perampasan Aset diinisasi dan disusun oleh PPATK pada 2008. Kemudian, RUU itu selesai dibahas antarkementerian pada November 2010.
Kementerian/lembaga yang terlibat dalam penyusunannya adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, akademisi FH UI, Polri, KPK dan Kejaksaan Agung.
"RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011," ujar Dian.
RUU tersebut dirumuskan dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture.
Dian memaparkan tiga substansi utama yakni, unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset.
Menurutnya, unexplained wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usulnya secara sah dan diduga terkait dengan tindak pidana.
Baca juga: Capim KPK Ini Dorong RUU Perampasan Aset
Kemudian, hukum acara perampasan aset dalam RUU disebut menekankan pada konsep negara versus aset (in rem), yang juga mengatur tentang perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.
Terakhir, ketentuan jenis pengelolaan aset yakni, penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian.
Apabila RUU itu disahkan, PPATK menilai, dapat membantu pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana.
"Dan akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi," ucap Dian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.