JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung Feri Wibisono menilai, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas gugatan terhadap Jaksa Agung tidak jelas.
Adapun PTUN Jakarta sebelumnya memutus pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin terkait tragedi Semanggi I dan II sebagai perbuatan melawan hukum.
“Kami harus melakukan banding atas satu putusan yang tidak benar, yang tidak berdasarkan kepada hukum acara yang seharusnya,” kata Feri di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (5/11/2020).
Baca juga: Usai Putusan PTUN, Jaksa Agung Diminta Lebih Optimal Tuntaskan Pelanggaran HAM
Putusan ini dinilai tidak benar karena Kejagung mengklaim ada banyak kesalahan yang dilakukan majelis hakim PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Pertama, menurut dia, pernyataan Jaksa Agung yang menjadi obyek sengketa tidak termasuk perbuatan konkret penyelenggaraan negara.
Menurut dia, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat adalah penyampaian informasi.
Adapun pernyataan itu disampaikan Jaksa Agung saat rapat dengan Komisi III DPR pada Januari 2020.
Kemudian, kedua orangtua korban Tragedi Semanggi I dan II yang mengajukan gugatan dinilai tidak memiliki kepentingan dengan pernyataan Jaksa Agung.
“Para penggugat, orangtua korban itu memiliki kepentingan penanganan perkara, tetapi terkait dengan jawaban di DPR tadi yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan,” tutur dia.
Baca juga: Anggota Komisi III: Harusnya Jaksa Agung Terima Putusan PTUN soal Tragedi Semanggi
Majelis hakim juga dinilai telah mengabaikan bukti video rekaman rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Feri menyebut, dalam rekaman video itu, Jaksa Agung tidak menyampaikan kalimat:
“Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 Ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”.
Padahal, kalimat tersebut masuk dalam obyek perkara.
Selain itu, hakim dinilai lalai karena tidak menjelaskan peraturan mana yang dilanggar oleh Jaksa Agung.
“Hakim memformulasikan berdasarkan keyakinannya saja, tanpa alat bukti yang memadai, dan lalai tidak melaksanakan kewajibannya membuat pertimbangan yang benar berkaitan perbuatan pelanggaran hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung sehingga dikategorikan sebagai cacat substansi,” ujar dia.