JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ( Komnas Perempuan) Bahrul Fuad menilai, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dibuat dengan tergesa-gesa.
Ia juga menilai pembuatan UU tersebut dibuat dengan pemikiran yang tidak cermat dan dipenuhi dorongan nafsu untuk segera mengambil keputusan pengesahan.
"Memang UU Cipta Kerja ini dibuat secara tidak cermat dan tampak sekali tergesa-gesa. Orang Jawa bilang grusa-grusu," kata Bahrul kepada wartawan, Rabu (7/10/2020).
Menurut Bahrul, tidak perlu membaca dengan cermat untuk melihat UU Cipta Kerja dibuat dengan grusa-grusu.
Baca juga: Komnas Perempuan Minta DPR Masukkan RUU PKS ke Prolegnas Prioritas 2021
Hal itu, kata dia, terlihat dari masih adanya penggunaan istilah penyandang cacat dalam UU tersebut.
"Beberapa pasal di UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah penyandang cacat bukan penyandang disabilitas sebagaimana yang tertulis di dalam UU Penyandang Disabilitas," ujarnya.
"Hal ini akan menguatkan kembali stigma negatif bagi penyandang disabilitas," lanjut dia.
Selain itu, Bahrul juga melihat ada pasal yang memperbolehkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada penyandang disabilitas.
Baca juga: MK Pastikan Netral dalam Sidang Uji Materi UU Cipta Kerja
Hal itu tertuang pada Pasal 81 UU Cipta Kerja tepatnya pada poin perubahan Pasal 154A yang menyebutkan perusahaan tidak bisa melakukan PHK pada pekerja yang mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya melewati jangka waktu 12 bulan.
"Pasal ini bertentangan dengan Pasal 53 UU Penyandang Disabilitas yang menyaratkan tersedianya kuota tenaga kerja penyandang disabilitas dua persen untuk BUMN dan satu persen untuk Badan Usaha Swasta," tuturnya.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan