JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta DPR RI untuk menetapkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021.
Hal ini dinilai penting lantaran kelanjutan pembahasan dan pengesahan RUU PKS kian mendesak.
"Mendorong dan mendukung DPR RI untuk menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin dalam konferensi pers virtual yang digelar Selasa (6/10/2020).
Baca juga: Jaringan Masyarakat Sipil Dorong RUU PKS Dimasukkan Prolegnas Prioritas 2021
Mariana mengatakan, pembahasan dan pengesahan RUU PKS telah lama dinanti masyarakat Indonesia, khususnya korban kekerasan seksual serta keluarga dan pendamping korban.
RUU pro-korban ini juga dinilai sangat krusial mengingat kasus kekerasan seksual di Tanah Air masih terjadi.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan memperlihatkan bahwa sepanjang tahun 2011 hingga 2019, terdapat 46.698 laporan kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan ranah publik.
Sementara itu, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengenai pengalaman hidup perempuan nasional 2016 menunjukkan, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
"Himpunan data ini merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan," ujar Mariana.
Menurut Mariana, kekerasan seksual yang umumnya terjadi pada perempuan dan anak ini memberikan dampak yang sangat serius dan traumatik.
Dampaknya bisa ke kesehatan fisik atau psikis korban, pemenuhan hak asasi perempuan dan relasi sosial, hingga ke kondisi ekonomi korban.
Baca juga: FPL: 9 Jenis Tindak Kekerasan Seksual dalam RUU PKS Nyata Terjadi
Dampak itu sangat mungkin berlangsung selama seumur hidup. Bahkan di beberapa kasus, kekerasan seksual mendorong korban melakukan bunuh diri.
Dengan situasi tersebut, hingga saat ini korban belum sepenuhnya mendapatkan keadilan, perlindungan, dan pemulihan dari negara.
Masih ada bentuk kekerasan seksual yang belum diatur oleh undang-undang. Jumlah aparatur penegak hukum juga masih terbatas dan belum berperspektif perempuan dan korban.
Belum lagi, budaya masyarakat masih menempatkan korban sebagai pihak yang bersalah.
"Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat ditanggulangi karena ketiadaan payung hukum yang komprehensif," kata Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang.