JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah rupanya kembali mencantumkan pasal sektor pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Seperti diketahui, DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).
Pasal mengenai pendidikan dicantumkan pada paragraf 12 terkait Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 65 ayat (1) UU Cipta Kerja yang berbunyi, "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini".
Dalam UU Cipta Kerja, perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Definisi itu dimuat dalam Pasal 1.
Baca juga: Pendidikan Diatur UU Cipta Kerja, LP Maarif NU: Kami Sangat Kecewa, Merasa Dibohongi
Kemudian, Pasal 65 Ayat (2) UU Cipta Kerja berbunyi, "Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Keberadaan pasal sektor pendidikan ini mengejutkan. Sekalipun pasalnya berjumlah sedikit.
Sebab, DPR dan pemerintah sepakat mengeluarkan klaster pendidikan dari draf RUU Cipta Kerja dalam Rapat Panja Baleg DPR dan pemerintah, Kamis (24/9/2020).
Alasannya, menurut Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi, banyak penolakan dari organisasi masyarakat atas sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja dan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan sektor pendidikan adalah nirlaba.
"Karena ada putusan MK bahwa prinsip pendidikan itu nirlaba, bukan komersialisasi. Kita juga meminta perlu pengaturan agar pendidikan tidak berorientasi profit tapi lebih orientasi sosial," kata Baidowi saat dihubungi Kompas.com Sabtu (26/9/2020).
Baca juga: Kemenag: Satuan Pendidikan Islam Tetap Berlakukan Sistem PJJ
Awi juga membantah anggapan bahwa sektor pendidikan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja agar pembahasan RUU sapu jagat itu bisa dipercepat.
"Enggak begitu. Tapi lebih pada konsepsi yang memang tidak pas masuk di sini. Karena kami sudah dua kali melakukan penundaan pembahasan," ujar dia.
Adapun, sebelum dikeluarkan dari draf RUU Cipta Kerja, terdapat sejumlah undang-undang terkait pendidikan yang akan dibahas yaitu UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran.
Lantas, bagaimana reaksi pegiat pendidikan atas Pasal terkait Pendidikan dalam UU Cipta Kerja tersebut?
Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, DPR dan pemerintah tak menepati janji terhadap dunia pendidikan dan pegiat pendidikan dengan kembali mencantumkan sektor pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: Komisi X Khawatir Pendidikan Dikomersialisasi Setelah Diatur UU Cipta Kerja
"Hal ini menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan prank terhadap dunia pendidikan, termasuk pegiat pendidikan. Sebelumnya dengan pede-nya mereka mengatakan klaster pendidikan telah dicabut dari RUU ini, ternyata sebaliknya," kata Satriwan dalam keterangan tertulis, Selasa (7/10/2020).
Satriawan mengatakan, ketentuan Pasal 65 dalam UU Cipta Kerja tersebut membuat pemerintah mudah mengeluarkan kebijakan perizinan usaha di bidang pendidikan.
Ia juga mengatakan, adanya perizinan berusaha dalam Pasal 65 tersebut akan mereduksi sektor pendidikan menjadi aktivitas ekonomi.
"Artinya pemerintah (eksekutif) dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya," ujar dia.
Sementara itu, Ketua LP Ma’arif NU Arifin Junaidi mengatakan, pihaknya akan melayangkan gugatan atas UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah menemukan pasal terkait pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: Merasa Dibohongi DPR, LP Ma’arif NU akan Gugat UU Cipta Kerja ke MK
"Apalagi sudah diketok (diputuskan) begini, ya wajib judicial review tentu. Jika yang lain tidak melakukannya, kami akan melakukannya sendiri ya," ujar Arifin Junaidi saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Arifin kecewa dengan sikap DPR dan pemerintah yang tetap memasukkan sektor pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Padahal, kata Arifin, pihaknya bersama penyelenggara pendidikan lainnya sudah menyampaikan keberatan atas sektor pendidikan dalam RUU sapu jagat raya.
"Kami terus terang sangat kecewa, kami merasa dibohongi oleh DPR, Komisi X yang sudah menyatakan didrop. Setelah kami merasa tenang karena sudah didrop, eh ternyata diketok juga," ujar dia.
Menurut Arifin, memasukkan pasal pendidikan dalam UU Cipta Kerja sama dengan menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan.
Baca juga: KSPSI: Banyak Advokat yang Mau Berjuang Bersama Buruh di MK
Padahal, kata Arifin, di dalam pembukaan Undang-undang dasar (UUD) 1945, tujuan dari bernegara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu, pada pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa pendidikan itu adalah hak setiap warga negara.
"Nah di situ kami tak mencari keuntungan, tetapi kami sedang ingin mencerdaskan masyarakat dan memberikan hak pendidikan sebagai warga negara. Kok kemudian dimasukan ke dalam rezim investasi? Ini bagaimana?" ucap Arifin.
"Kalau misalnya dianggap sebagai usaha, ya nanti akan banyak sekali warga negara yang tidak memperoleh haknya," lanjut dia.
Ketua Komisi X Syaiful Huda kecewa atas sikap Baleg DPR dan pemerintah yang tetap mencantumkan pasal terkait pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Baca juga: UU Cipta Kerja dan Potensi Pekerja Kontrak Abadi
"Satu sikap, saya kecewa," kata Huda saat dihubungi Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Huda mengaku, belum mendapatkan penjelasan dari Baleg DPR mengenai alasan pasal pendidikan tetap dicantumkan dalam UU Cipta Kerja.
Pasal 65 tersebut, menurut Huda, adalah pasal krusial yang dapat membuat sektor pendidikan dikomersialisasikan sehingga tidak sejalan dengan UUD 1945.
"Frasa itu (Pasal 65) sangat kental sekali pendidikan difungsikan sebagai entitas komersial itu yang termasuk kita tidak sepakat sejak awal karena ini tidak senafas dengan amanat UUD kita," ujar dia.
Berdasarkan hal tersebut, Huda mendukung para pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk mengajukan uji materi atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Cipta Kerja.
Baca juga: Simak Perhitungan Besaran Pesangon PHK Terbaru di UU Cipta Kerja
Menanggapi masih dicantumkannya sektor pendidikan dalam UU Cipta Kerja, anggota Baleg dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, sudah banyak pasal-pasal terkait pendidikan yang dihapus dalam UU Cipta Kerja.
"Saya melihat sudah banyak yang dihilangkan. Pasal 65 terkait (berkaitan) dengan Bab IX Pasal 3 tentang perizinan pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus," kata Hendrawan saat dihubungi, Selasa (6/10/2020).
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, Bab IX Kawasan Ekonomi, Pasal 1 UU Cipta Kerja menyatakan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Baca juga: Pukat UGM Nilai RUU Cipta Kerja Tak Berpihak kepada Buruh
Kemudian, Pasal 3 Ayat (1) UU Cipta Kerja disebutkan bahwa kegiatan usaha di kawasan KEK diantaranya :
a. produksi dan pengolahan;
b. logistik dan distribusi;
c. pengembangan teknologi;
d. pariwisata;
e. pendidikan;
f. kesehatan;
g. energi; dan/atau
h. ekonomi lain.
Terkait pendidikan, pada Pasal 3 Ayat (2) UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa "Pelaksanaan kegiatan usaha pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat".
Adapun Pasal 3 Ayat (6) UU Cipta Kerja disebutkan bahwa "Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan zonasi di KEK".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.