Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kapolri Terbitkan Telegram Antisipasi Unjuk Rasa, YLBHI Singgung Kebebasan Berpendapat

Kompas.com - 05/10/2020, 11:44 WIB
Devina Halim,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis menghormati hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

"Meminta Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 dan amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya, termasuk pendapat di muka umum," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI M. Isnur melalui keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).

Hal itu disampaikan terkait Surat Telegram Kapolri nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020. Telegram kemudian beredar di media sosial.

Dalam dokumen yang beredar di dunia maya, telegram tersebut berisi sejumlah perintah untuk antisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja buruh pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam rangka penolakan omnibus law RUU Cipta Kerja.

Baca juga: Dukung Unjuk Rasa Buruh, KAMI: RUU Cipta Kerja Hilangkan Posisi Tawar Kelompok Pekerja

Menurut YLBHI, terdapat sejumlah masalah dalam telegram tersebut. Pertama, terkait perintah melaksanakan fungsi intelijen dan deteksi dini untuk mencegah terjadinya unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial.

Isnur menuturkan, Polri tidak mempunyai hak untuk mencegah unjuk rasa. Menurut Pasal 13 UU Nomor 9 Tahun 1998, Polri justru bertanggung jawab memberi pengamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum.

Berikutnya, YLBHI menyoroti poin ketiga pada telegram itu yang berbunyi, "cegah, redam dan alihkan aksi" guna mencegah penyebaran Covid-19. Isnur menilai, hal itu diskriminatif.

"Padahal sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak menaati protokol kesehatan seperti perusahaan, pusat perbelanjaan bahkan bandara. Sebaliknya, dua aksi tolak Omnibus Law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan klaster baru Covid-19," tutur Isnur.

Baca juga: Menuju Pengesahan RUU Cipta Kerja di Paripurna...

Kemudian, YLBHI menilai ada penyalahgunaan wewenang oleh Polri.

Hal itu merujuk perintah nomor lima berbunyi, "lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi Covid-19" dan poin keenam yang berisi "lakukan kontra-narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah".

Mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 dan amandemennya, Isnur menuturkan, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye untuk pemerintah.

Selain itu, YLBHI berpandangan bahwa kritik publik terhadap pemerintah berpotensi terhambat dengan adanya perintah tersebut.

Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Buruh Akan Mogok Kerja dan Unjuk Rasa

Isnur sekaligus menyoroti perintah penegakkan hukum terhadap pelanggaran pidana dengan menggunakan pasal pada UU Kekarantinaan Kesehatan.

YLBHI kemudian membandingkan dengan penegakan hukum terhadap munculnya klaster di lingkungan perkantoran.

"Bahkan berbagai laporan menunjukkan adanya klaster perkantoran, tapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja/pegawai tetap bekerja," ucap dia.

Hingga saat ini, Mabes Polri belum memberikan komentar terkait kritik YLBHI dan Kompas.com masih mencoba meminta penjelasan Polri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem dan PKB Merapat ke Prabowo-Gibran, Kekuatan Parlemen Berpotensi 71,89 Persen

Nasdem dan PKB Merapat ke Prabowo-Gibran, Kekuatan Parlemen Berpotensi 71,89 Persen

Nasional
Jaksa KPK Bakal Panggil Istri dan Anak SYL ke Persidangan

Jaksa KPK Bakal Panggil Istri dan Anak SYL ke Persidangan

Nasional
BKKBN Masih Verifikasi Situasi Stunting Terkini di Indonesia

BKKBN Masih Verifikasi Situasi Stunting Terkini di Indonesia

Nasional
Wapres: Kalau Keluarga Baik, Bangsa Indonesia Akan Baik

Wapres: Kalau Keluarga Baik, Bangsa Indonesia Akan Baik

Nasional
Kekuatan Oposisi Masih Tetap Dibutuhkan...

Kekuatan Oposisi Masih Tetap Dibutuhkan...

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, PKB Pastikan Tak Bakal Rusak Soliditas Koalisi Indonesia Maju

Dukung Prabowo-Gibran, PKB Pastikan Tak Bakal Rusak Soliditas Koalisi Indonesia Maju

Nasional
Senada dengan Nasdem, PKB Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Kian Sulit Diwujudkan

Senada dengan Nasdem, PKB Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Kian Sulit Diwujudkan

Nasional
Usai Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem dan PKB Bilang Timnas Amin ‘Bubar’

Usai Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem dan PKB Bilang Timnas Amin ‘Bubar’

Nasional
MK Sidangkan Sengketa Pileg 2024 Mulai 29 April, Sehari Puluhan Perkara

MK Sidangkan Sengketa Pileg 2024 Mulai 29 April, Sehari Puluhan Perkara

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PKS: Pak Surya Paling Cantik Bermain Politik

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PKS: Pak Surya Paling Cantik Bermain Politik

Nasional
Penghormatan Terakhir PDI-P untuk Tumbu Saraswati...

Penghormatan Terakhir PDI-P untuk Tumbu Saraswati...

Nasional
Idrus Sebut Ada Posisi Strategis yang Ditawarkan jika Jokowi Masuk Golkar; Ketua Umum hingga Ketua Dewan Pembina

Idrus Sebut Ada Posisi Strategis yang Ditawarkan jika Jokowi Masuk Golkar; Ketua Umum hingga Ketua Dewan Pembina

Nasional
CSIS: Jumlah Caleg Perempuan Terpilih di DPR Naik, tapi Sebagian Terkait Dinasti Politik

CSIS: Jumlah Caleg Perempuan Terpilih di DPR Naik, tapi Sebagian Terkait Dinasti Politik

Nasional
Cak Imin Titip 8 Agenda Perubahan ke Prabowo, Eks Sekjen PKB: Belum 'Move On'

Cak Imin Titip 8 Agenda Perubahan ke Prabowo, Eks Sekjen PKB: Belum "Move On"

Nasional
CSIS: Caleg Perempuan Terpilih di Pemilu 2024 Terbanyak Sepanjang Sejarah sejak Reformasi

CSIS: Caleg Perempuan Terpilih di Pemilu 2024 Terbanyak Sepanjang Sejarah sejak Reformasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com