JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan pengujian Undang-undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/9/2020).
Dalam persidangan, Novel menyebut bahwa revisi UU KPK menyebabkan lembaga antirasuah itu menjadi tidak berdaya.
Ketidakberdayaan ini merupakan ironi lantaran KPK adalah lembaga yang menangani korupsi sebagai kejahatan luar biasa.
"Dibanding dengan semua aparat penegak hukum lain, bahkan dibandingkan dengan PPNS (penyidik pegawai negeri sipil) sekalipun, KPK menjadi lebih tidak berdaya karena KPK tidak bisa melakukan tindakan dalam hal keadaan mendesak," kata Novel dalam sidang yang disiarkan YouTube MK RI, Rabu.
Baca juga: Pukat UGM Sebut Revisi UU KPK Terbukti Melumpuhkan KPK
"Ini yang kemudian kita lihat ironi sebagai hal yang kemudian korupsi dipandang sebagai extra ordinary," tuturnya.
Novel mengatakan, ketidakberdayaan KPK disebabkan karena perubahan ketentuan UU 19/2019 yang menyangkut 4 hal, yakni penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan penghentian penyidikan.
Sebelum UU KPK direvisi, proses penyadapan dapat dilakukan KPK tanpa perlu izin pihak manapun. Sementara, di UU KPK hasil revisi, penyadapan harus dilakukan seizin Dewan Pengawas.
Menurut Novel, dengan diperlukannya izin, penyadapan terpaksa melalui proses yang panjang. Akibatnya, bukti-bukti tak bisa didapatkan secara cepat.
Baca juga: UU KPK Hasil Revisi Tetap Berlaku Tanpa Tanda Tangan Jokowi, tetapi...
Padahal, dalam bekerja, KPK harus merespons dengan segera. Jika tidak, muncul potensi hilangnya barang bukti.
Hal serupa juga terjadi dalam proses penggeledahan. Dengan direvisinya UU KPK, penggeledahan hanya boleh dilakukan atas izin Dewan Pengawas.
"Dengan adanya proses yang harus ada izin, tidak diberikan ruang untuk melakukan tindakan terlebih dahulu sekalipun untuk hal yang mendesak contohnya setelah OTT atau tindakan-tindakan yang perlu mendesak ketika mencari tersangka yang melarikan diri. Ini menjadi hambatan," ujar Novel.
Pasca UU KPK direvisi, proses penyitaan juga harus kantongi izin Dewan Pengawas. Hal ini dinilai sangat menyulitkan dan lagi-lagi berpotensi menghilangkan barang bukti karena panjangnya proses perizinan.
Novel mengatakan, meski di UU KPK yang lama proses penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tak perlu izin, bukan berarti hal tersebut luput dari pengawasan.
"Hal ini tentu bukan berarti tidak ada pengawasan karena proses tersebut dilakukan dengan berjenjang," tuturnya.
Terakhir, Novel juga menyinggung wewenang baru KPK yang dimuat UU 19/2019 berupa pengjentian penyidikan kasus yang tengah berjalan.
Semula, tanpa adanya wewenang tersebut, Novel yakin KPK tak akan terintervensi pihak luar.
Baca juga: Sidang Uji UU KPK Hasil Revisi, MK Panggil Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK
Namun dengan adanya ketentuan baru ini, ia khawatir ada pihak-pihak yang berupaya mengintervensi KPK untuk menghentikan kasus.
"Hal ini yang menjadi permasalahan dan menjadi peluang terjadinya intervensi atau terjadi masalah dalam proses yang dilakukan sehingga prosesnya tidak proporsional atau tidak objektif," kata dia.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut, menurut Novel, nampak sekali bahwa revisi UU KPK berdampak pada pelemahan lembaga antirasuah itu.
Novel menyebut bahwa KPK telah kehilangan akuntabilitasnya. Ia juha mengatakan KPK tak lagi mampu mendeteksi korupsi secara cepat dan kedap.
"Justru KPK akan nampak tidak berdaya dalam melakukan tindakan contohnya penggeledahan dan penyitaan tadi," kata Novel.
Baca juga: Satu Tahun Revisi UU KPK, Azyumardi Azra: Politik Kita Penuh Gimmick
Untuk diketahui, sejak disahkan oleh DPR pada September 2019 lalu, UU KPK hasil revisi digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi.
Salah satu gugatan diajukan oleh pimpinan KPK masa jabatan 2015-2019. Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.
Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini H.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.