JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung baru-baru ini mendapat sorotan setelah menerbitkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana.
Pedoman tersebut ditandatangani oleh Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin pada 6 Agustus 2020. Dokumen pedoman tersebut diterima Kompas.com pada Senin (10/8/2020) malam.
Namun, Kejaksaan Agung baru mengonfirmasi pedoman tersebut pada Selasa (11/8/2020) pagi.
Baca juga: Tak Bisa Seenaknya, Pemanggilan-Penahanan Jaksa Kini Harus Izin Jaksa Agung
"Jaksa yang diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung," demikian bunyi poin nomor 1 pada Bab II pedoman tersebut.
Pedoman dibuat dengan tujuan memberi perlindungan kepada jaksa agar dapat melaksanakan tugasnya tanpa gangguan atau dari hal yang belum diuji kebenarannya, seperti pertanggungjawaban pidana serta perdata.
Di dalam pedoman tersebut turut diatur tata cara memperoleh izin Jaksa Agung, yaitu dengan mengajukan permohonan dan sejumlah dokumen persyaratan.
Permohonan akan diperiksa oleh Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung atau pejabat lainnya yang ditunjuk Jaksa Agung. Informasi lebih lanjut terkait jaksa yang akan dipanggil atau ditahan dapat dikumpulkan melalui koordinasi dengan Jaksa Agung Muda atau ekspose.
Baca juga: Kejagung Sebut Aturan Baru soal Perlindungan Jaksa Tak Terkait Kasus Pinangki
Kemudian, permohonan izin dapat ditolak apabila tidak lengkap, tidak sesuai, atau tidak memiliki urgensi. Namun, izin Jaksa Agung tidak diperlukan untuk jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, penerbitan aturan tidak terkait kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang diduga pernah bertemu Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra pada saat masih buron.
"Tidak ada (kaitan dengan kasus tertentu), karena bikin pedoman itu kajiannya cukup lama," ucap Hari melalui aplikasi pesan singkat, Selasa (11/8/2020).
Pedoman dicabut
Pedoman tersebut pun menuai kritik dari berbagai pihak.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, aturan tersebut tidak sesuai dengan asas equality berfore the law, di mana semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.
ICW pun menduga penerbitan pedoman tersebut berkaitan dengan Jaksa Pinangki.
Baca juga: Soal Izin Pemanggilan-Penahanan Jaksa, ICW: Tak Boleh Ada Perlakuan Khusus
Komisi Kejaksaan menyampaikan hal senada. Penerbitan pedoman dinilai terkesan ingin melindungi Jaksa Pinangki karena dikeluarkan di tengah ramainya polemik mengenai jaksa tersebut.
Kritik juga datang dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pakar hukum pidana, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Beberapa jam berselang, Kejagung mengumumkan pencabutan pedoman tersebut oleh Jaksa Agung pada Selasa malam.
Pencabutannya tertuang dalam Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 163 Tahun 2020 tertanggal 11 Agustus 2020.
"Dengan pertimbangan telah menimbulkan disharmoni antar bidang tugas sehingga pemberlakuannya saat ini dipandang belum tepat, dengan ini Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 dinyatakan dicabut," tutur Hari melalui keterangan tertulis, Selasa malam.
Baca juga: Aturan soal Proses Hukum Jaksa Harus Seizin Jaksa Agung Akhirnya Dicabut
Dalam penjelasannya, pedoman tersebut dibuat untuk mengatur pelaksanaan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Pasal tersebut mengatur tentang izin Jaksa Agung untuk pemanggilan hingga penahanan jaksa. Menurut Kejagung, pasal tersebut kerap menimbulkan interpretasi yang berbeda sehingga dibutuhkan pedoman pelaksanaan.
Meski penerbitan pedoman sudah melalui proses yang cukup panjang, Kejagung berdalih, masih diperlukan tahapan lebih lanjut.
"Hal tersebut telah dilakukan kajian yang cukup lama, namun hingga saat ini masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi lebih lanjut dengan Kementerian Hukum dan HAM serta instansi terkait," ungkap Hari.
Baca juga: Kejagung Cari Penyebar Dokumen Pedoman soal Proses Hukum Jaksa Harus Seizin Jaksa Agung
Kejagung pun menduga ada oknum yang menyebarkan dokumen pedoman tersebut melalui aplikasi WhatsApp.
Sebab, menurut Hari, pedoman tersebut belum diedarkan secara resmi oleh Biro Hukum Kejaksaan Agung.
"Oleh karena itu akan dilakukan penelusuran terhadap siapa yang menyebarkannya," tutur dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.