JAKARTA, KOMPAS.com - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia( KSPI), Rabu (29/7/2020), menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Aksi itu digelar untuk mendesak penghentian pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
"Selain terdapat banyak persoalan yang kemudian ditolak oleh berbagai elemen masyarakat karena mendegradasi tingkat kesejahteraan, Omnibus Law didesain sebelum pandemi," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/7/2020).
"Dengan demikian, Omnibus Law bukan solusi untuk mengatasi pandemi," lanjut dia.
Baca juga: Tolak Pembahasan RUU Cipta Kerja, KSPI Akan Demo Gedung DPR Tiap Pekan
Said Iqbal menyuarakan dua tuntutan dalam aksi tersebut, yakni menolak RUU Cipta Kerja dan menghentikan pemutusan hubungan Kerja (PHK) akibat dari pandemi virus corona atau Covid-19.
"Aksi ini merupakan reaksi terhadap sikap keras kepala dan tidak pedulinya DPR RI, khususnya Panja Baleg Pembahasan RUU Cipta Kerja dan Kemenko yang ngotot omnibus law tetap dibahas di saat pandemi corona," ujar dia.
Ia menyesalkan sikap DPR yang masih terus melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja.
Menurut dia, seharusnya DPR fokus pada masalah lain yang lebih penting untuk nasib para pekerja, yakni terkait masalah PHK.
Baca juga: KSPI Ancam Gelar Unjuk Rasa Besar jika RUU Cipta Kerja Tetap Dibahas
"Saat ini yang lebih mendesak dari Omnibus Law adalah darurat PHK," ujar dia.
Said mengatakan, khusus anggota KSPI di sektor tekstil dan garmen, pada masa pandemi Covid-19 ini sudah 96.000 orang yang dirumahkan. Bahkan, sebagian besar tidak mendapatkan upah penuh.
Sementara itu, yang di PHK sudah mencapai 100.000 orang yang tersebar di 57 perusahaan.
Ada juga yang masih dalam proses PHK dan saat ini sedang dalam perudingan dengan serikat pekerja terjadi di 15 perusahaan.
Menurut Said, sikap DPR yang memprioritaskan pembahasan RUU Cipta Kerja juga menimbulkan kecurigaan.
Baca juga: Polemik RUU Cipta Kerja, Partai Demokrat: Jangan Kesampingkan Rakyat
Ia menilai, DPR seperti sedang terburu-buru untuk memenuhi pesanan dari pihak tertentu.
"Selain terdapat banyak persoalan yang kemudian ditolak oleh berbagai elemen masyarakat karena mendegradasi tingkat kesejahteraan, omnibus law didesain sebelum pandemi," ujar dia.