Hal itu tidak terlepas dari red notice Interpol yang telah diterbitkan sejak 22 Desember 2003.
Pihak Serbia akhirnya menghubungi Pemerintah Indonesia untuk memberitahukan bahwa ada buronan Bareskrim Polri yang berhasil ditangkap di negara mereka.
"It's almost one year ago," kata Yasonna.
"Setelah pemberitahuan dari Pemerintah Serbia, Dirjen AHU (Administrasi Hukum Umum) pada tahun lalu langsung mengirim surat percepatan ekstradisi pada tanggal 31 Juli 2019," imbuhnya.
Tak cukup sampai di sana. Kemenkumham pun kembali melayangkan surat kepada Pemerintah Serbia pada 3 September 2019 untuk membantu proses penyerahan Maria.
Diplomasi "high level"
Maria nyaris saja dapat kembali menghirup udara bebas.
Sebab, berdasarkan aturan, masa penahanan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Serbia berdasarkan red notice tersebut hanya berlaku selama satu tahun.
Itu artinya, Pemerintah Indonesia hanya memiliki tenggat waktu sepekan lagi untuk memboyong Maria ke Tanah Air.
Sama seperti Belanda, Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Serbia untuk memulangkan buronan penegak hukum ke Tanah Air.
"Jadi kemudian kita melakukan pendekatan high level dengan Pemerintah Serbia. Ikut serta ke sana staf Kemenkumhan dari Dirjen AHU, Kadiv Hubinter, dan kita terus melakukan upaya pendekatan," ungkapnya.
Baca juga: Selain Maria Pauline Lumowa, Siapa Saja yang Pernah Dijerat Kasus Pembobolan BNI?
Ketika pendekatan itu telah memasuki proses negosiasi, Yasonna mengaku, langsung turun tangan.
"Saya laporkan kepada Presiden melalui Mensesneg, (bahwa) diperlukan langkah-langkah high diplomacy. Karena kalau kita lewat tanggal 16 (Juli), masa penahanannya akan berakhir dan mau tidak mau harus dibebaskan," terang Yasonna.
Ia menambahkan, ada upaya dari salah satu negara di Eropa yang berusahan menggagalkan diplomasi yang tengah dilakukan oleh Indonesia.
Bahkan, kata Yasonna, pihak Kementerian Kehakiman Serbia menyebut kuasa hukum Maria sempat berniat untuk menyuap agar proses ekstradisi itu gagal.