Masyarakat kita menunjung tinggi simbol suci. Sponsor-sponsor swasta dan politik lebih nyaman berkolaborasi dengan tokoh normatif.
Tokoh masyarakat mendapatkan pengaruhnya, ilmuwan hanyalah bagian dari umat. Semua nasihat lebih afdol jika ditopang dengan dalil dan dilegitimasi tafsir majelis formal.
Perhatikan media kita yang dipenuhi dengan hal-hal normatif teologis dan hampir bisa dikatakan terlalu sedikit, jika ada, konten sains.
Plot sinetron-sinetron yang tayang siang dan malam selalu mengulang-ulang pertarungan baik dan buruk, kaya dan miskin, benar dan salah, menurut norma dan kacamata teologis normatif.
Perkumpulan untuk publik dalam bentuk forum selalu dihiasi dengan harapan-harapan indah, entah dimengerti kontennya atau tidak. Semua narasi bermuara pada kehidupan setelah mati.
Ilmu pengetahuan dan sains menjadi bahan olok-olokan karena tidak abadi. Banyak pembicaraan menyindir gagalnya rasio manusia dan ilmu sebagai produknya.
Coba lihat Italia, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat, masyarakat maju yang kehilangan banyak nyawa saat corona.
Jika pemirsa ingin sedikit pendidikan pengetahuan, tentang kehidupan, alam, matematika, sejarah, hanya disajikan di channel-channel berbahasa asing. Sedikit kita yang mampu mengerti.
Kanal-kanal di Youtube asing banyak dipenuhi bahkan dengan rekaman-rekaman sejarah dan geografi Indonesia. Sedangkan kanal-kanal kita memproduksi candaan diselingi dogma-dogma yang lebih mengetengahkan kehidupan kekal dan abadi.
Muhammad Abduh, tokoh modernis dan reformis Mesir abad 20 awal, benar tampaknya bahwa dogma keagamaan di negara-negara jajahan banyak merugikan akal.
Sementara Muhammad Arkoun, tokoh Aljazair abad 21 yang tinggal di Paris, menyindir pengulangan cerita dan pola pikir yang sama di semua wacana pendidikan keagamaan.
Bahkan Sukarno, Bapak Bangsa kita, juga jauh-jauh hari sering menyindir dalam berbagai tulisannya terhadap cupetnya akal dalam berfikir terutama di hadapkan doktrin yang sering memundurkan bangsa.
Sampai kini, agama menjadi tempat teduh untuk kenyamanan, jangan-jangan karena gagalnya pendidikan ilmu, sains dan pengetahuan kita.
Masyarakat agamis akan melahirkan pemerintahan agamis. Ilmuwan agamis juga lahir dari situ.
Saat menghadapi pandemi, kita berdoa demi keselamatan. Pasca-pandemi meneruskan doa untuk mencari kesempatan yang hilang. Politisi, pedagang, seniman, dan ilmuwan semua berdoa agar kehidupan baik-baik saja.
Mari kita sematkan sikap optimisme agar sains dan teknologi dilindungi norma agama: bahwa agama menyuruh kita berpengetahuan dan menggiatkan penelitian untuk menemukan obat saat sakit dan perlindungan saat marabahaya datang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.