Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Praperadilan Nurhadi: KPK Sebut Tersangka Tak Berhak Mengajukan hingga Pengacara Klaim Boleh Berbohong

Kompas.com - 15/01/2020, 10:42 WIB
Achmad Nasrudin Yahya,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali menggelar sidang praperadilan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman dan dua tersangka lain terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Adapun dalam gugatan ini terdapat tiga pemohon. Yakni pemohon I sang menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono.

Kemudian pemohon II Nurhadi dan pemohon III Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (TIM) Hiendra Soenjoto.

Nurhadi Cs melawan lembaga antirasuah berkaitan dengan penetapan tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi pada pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2011-2016.

Baca juga: KPK Nilai Tersangka Penyuap Nurhadi Tak Berhak Praperadilan karena Melarikan Diri

Secara keseluruhan, Nurhadi diduga melalui Rezky telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai mencapai Rp 46 miliar.

Menurut KPK, ada tiga perkara yang menjadi sumber suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi yakni perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, sengketa saham di PT MIT, dan gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.

Setelah sebelumnya pada Senin (13/1/2020), pihak pemohon membacakan gugatan praperadilan, KPK kemudian melakukan eksepsi sehari berikutnya, Selasa (14/1/2020).

Tak berhak ajukan praperadilan

Tim biro hukum KPK menilai Hiendra Soenjoto tak berhak mengajukan praperadilan lantaran melarikan diri dalam dugaan kasus suap dan gratifikasi terkait perkara di MA pada 2011-2016.

Baca juga: Fakta Sidang Praperadilan Perdana Nurhadi Dkk: Penetapan Tak Sah hingga Permasalahkan Status Penyidik

Hal itu diungkapkan anggota tim biro hukum KPK Indah Oktianti pada eksepsi yang dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020).

"Eksepsi tentang tersangka yang melarikan diri tidak berhak mengajukan permohonan," ujar Indah saat membacakan eksepsi di PN Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020).

Indah menjelaskan, Mahkamah Agung memberikan limitasi atau batasan terhadap pihak yang mengajukan praperadilan.

Limitasi itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang larangan pengajuan praperadilan bagi tersangka yang melarikan diri atau sedang dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO).

Baca juga: Mantan Sekretaris MA Nurhadi Siapkan Dua Saksi Ahli dalam Praperadilan Lawan KPK

Indah mengatakan, pemberlakuan limitasi sudah berlangsung sejak tanggal 23 Maret 2018.

Indah menjelaskan, Hiendra selaku pemohon III terbukti menghindar ketika mengetahui tim penyidik KPK mendatangi rumahnya di Kompleks Sunter Indah, Jalan Sunter Indah VI, Blok HI/2 No 5, Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

 

Posisi Hiendra juga terlacak sebagaimana manifes Penumpang Garuda Indonesia (GA649) dari Ternate (TTE) ke Jakarta (CGK) pada tanggal 12 Desember 2019.

Namun demikian, kata Indah, Hiendra dengan sengaja melarikan diri dan tidak pulang ke rumah. Padahal saat itu sang istri sudah memintanya untuk pulang.

"Bahwa Pemohon III (Hiendra Soenjoto) sejak tanggal 12 Desember 2019 sampai saat persidangan ini berlangsung melarikan diri," ungkap Indah.

Baca juga: Pengacara Nurhadi Permasalahkan Status Kepegawaian Penyidik KPK

Tepatnya setelah penyidik KPK menggeledah kediaman Hiendra.

Penggeledahan tersebut berkaitan dengan penetapan tersangka dalam dugaan kasus suap dan gratifikasi terkait perkara MA pada 2011-2016.

Saat penggeledahan terjadi, Hiendra terbukti meminta sang istri, Lusi Indriati berbohong kepada penyidik KPK terkait keberadaannya.

Sekitar pukul 12.38 WIB, Lusi memberitahu kepada Hiendra jika di rumah terdapat banyak penyidik KPK. Lusi juga menyampaikan bahwa KPK tidak untuk menangkap Hiendra.

Namun, Hiendra justru meminta agar Lusi berbohong dengan menyampaikan kepada penyidik KPK, bahwa posisinya tengah berada di Maluku.

Baca juga: Kuasa Hukum Anggap Hiendra Soenjoto Punya Hak Bohong agar Tak Hadiri Panggilan KPK

Kendati demikian, Lusi tetap meminta Hiendra pulang karena saat itu penyidik segera menggeledah rumah.

Di sisi lain, Hiendra tetap kukuh agar Lusi tidak boleh mengungkap keberadaannya.

Percakapan keduanya pun diketahui penyidik KPK. Mengingat, saat keduanya berkomunikasi, penyidik KPK juga sudah memegang HP Lusi.

Setelah itu, Hiendra juga meminta Lusi membawa kabur dokumen yanh ada di mobil sebagaimana dinyatakan secara tertulis oleh Lusi.

"Saya disuruh Hiendra bawa dokumen di mobil tetapi saya tidak tau tujuannya kemana, pas saya mau pergi arisan saya bawa sekalian dokumen-dokumen tersebut".

Dalil keliru soal ASN

Indah menilai dalil yang digunakan Nurhadi cs terhadap penyidik mengenai status Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah keliru.

"Dalil-dalil yang diajukan para pemohon adalah keliru, tidak benar, tidak beralasan, dan tidak berdasarkan hukum," kata Indah.

Baca juga: Percakapan Tersangka Hiendra Soenjoto dengan Istrinya Sebelum Melarikan Diri...

Sebelumnya, para pemohon mempermasalahkan status dua penyidik KPK, Novel Baswedan dan Rizka Anungnata.

Keduanya dinilai tidak berwenang melakukan penyidikan lantaran belum berstatus ASN.

Status ASN itu sendiri sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) KPK nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.

Namun demikian, Indah menegaskan pada saat aturan itu berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus ASN dalam jangka waktu paling lama 2 tahun dapat diangkat sebagai ASN.

Baca juga: Plt Jubir KPK Sebut Tes Penyaringan ASN Hanya untuk Pegawai Tidak Tetap

Hal itu terjadi sepanjang memenuhi ketentuan peraturan dan perundang-undangan.

"Sehingga dalil para pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyidik termohon harus langsung beralih status menjadi aparatur sipil adalah dalil-dalil yang keliru dan tidak berdasarkan hukum dan sudah sepatutnya ditolak," tegas Indah.

Berwenang perintah penyidikan

Indah menegaskan mantan pimpinan KPK di era Agus Rahardjo memiliki kewenangan memerintah penyidikan terhadap Nurhadi cs.

"Pimpinan termohon (KPK) memiliki kewenangan untuk memerintahkan penyidik melakukan tindakan penyidikan terhadap perkara a quo," kata Indah.

Baca juga: Pengacara Sebut Status Tersangka Nurhadi Tak Sah karena Tak Pernah Dipanggil KPK

Sebelumnya, para pemohon mempermasalahkan kedudukan pimpinan KPK sebelumnya pasca-berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Indah menegaskan bahwa dalil yang diajukan para pemohon keliru, tidak benar, tidak beralasan, dan tidak berdasarkan hukum.

Indah menerangkan, berdasarkan Pasal 69D UU Nomor 19 Tahun 2019 telah diatur bahwa selama Dewan Pengawas belum terbentuk pelaksanaan tugas dan kewenangan dari KPK mengacu kepada ketentuan UU sebelumnya.

Baca juga: KPK: Nurhadi Tak Penuhi Panggilan Pemeriksaan Tanpa Alasan yang Jelas

Maka dari itu, lanjut Indah, segala pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sebelum tanggal 19 Desember 2019 masih dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002.

"Secara hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur oleh UU Nomor 19 tahun 2019," jelas Indah.

Tersangka berhak berbohong

Kuasa Hukum Hiendra Soenjoto dan dua tersangka lainnya, Maqdir Ismail menyebut kliennya punya hak berbohong.

"Tersangka itu punya hak untuk berbohong, apalagi mereka juga punya hak untuk tidak mau hadir," ujar Maqdir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020).

Pernyataan Maqdir itu menanggapi eksepsi KPK yang menyebut Hiendra meminta sang istri, Lusi Indriati berbohong dengan menyampaikan kepada penyidik KPK bahwa dirinya tengah berada di Maluku.

Baca juga: Nurhadi, Eks Sekretaris MA yang Punya Harta Rp 33,4 M dan Cerita Suvenir iPod di Pernikahan Anak

Padahal, saat penyidik menggeledah kediamannya, Hiendra sedang berada di Jakarta dan tengah menuju rumahnya di Kompleks Sunter Indah, Jalan Sunter Indah VI, Blok HI/2 No 5, Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Maqdir menilai aneh terhadap anggapan KPK yang menyebut kliennya tidak koperatif. Pasalnya, tidak hadir dalam panggilan atau mengajukan praperadilan merupakan hak.

"Sementara sekarang, kok dibilang enggak koperatif. Mereka datang siang-siang begini koperatif enggak kita bilang enggak koperatif. Sementara hakim perintahkan mereka kemarin supaya mereka dateng pagi. Kalau itu yang kita bandingkan, ini enggak benar lagi kan," sanggah Maqdir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Bisa Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hakim Perempuan, Ketua MA Apresiasi Penyelenggaraan Seminar Internasional oleh BPHPI

Nasional
Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Jelang Pemberangkatan Haji, Fahira Idris: Kebijakan Haji Ramah Lansia Harap Diimplementasikan secara Optimal

Nasional
Aies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Aies Tak Mau Berandai-andai Ditawari Kursi Menteri oleh Prabowo-Gibran

Nasional
PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

PKS Siapkan 3 Kadernya Maju Pilkada DKI, Bagaimana dengan Anies?

Nasional
Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Anies Mengaku Ingin Rehat Setelah Rangkaian Pilpres Selesai

Nasional
Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran Ibarat Pisau Bermata Dua

Koalisi Gemuk Prabowo-Gibran Ibarat Pisau Bermata Dua

Nasional
Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Nasional
Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P di Periode Kedua Jokowi

Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P di Periode Kedua Jokowi

Nasional
Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasional
Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Nasional
Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com