Untuk dapil Sumatera Selatan I ditetapkan DPP PDI Perjuangan memperoleh 1 kursi dan caleg yang berhak atas kursi tersebut adalah Riezky Aprilia yang meraih 44.402 suara.
Usai penetapan ini, Evi mengungkapkan bahwa KPU menerima tembusan surat dari DPP PDI Perjuangan tertanggal 13 September 2019.
Isinya adalah permohonan fatwa oleh partai itu terhadap putusan MA soal aturan pergantian antarwaktu caleg.
Surat itu ditujukan untuk Ketua MA Republik Indonesia.
"Pada pokoknya PDI Perjuangan meminta fatwa kepada MA agar KPU bersedia melaksanakan permintaan DPP PDI Perjuangan sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan," tutur Evi.
Baca juga: Fatwa Putusan PAW Caleg PDI-P Dipertanyakan, MA Berikan Penjelasan
Selanjutnya, KPU menerima surat dari DPP PDI Perjuangan tertanggal 6 Desember 2019 perihal Permohonan Pelaksanaan fatwa MA dengan melampirkan fatwa MA.
Adapun fatwa MA disampaikan melalui Surat MA Nomor 37/Tuaka.TUN/IX/2019 tanggal 23 September 2019.
Isinya menyebutkan bahwa untuk melaksanakan Putusan MA tersebut, KPU wajib konsisten menyimak “Pertimbangan Hukum” dalam putusan dimaksud.
"Khususnya (pertimbangan hukum) halaman 66-67, yang antara lain berbunyi “Penetapan Suara Calon Legislatif yang meninggal dunia, kewenangannya diserahkan kepada Pimpinan Partai Politik untuk diberikan kepada Calon Legislatif yang dinilai terbaik” jelas Evi.
Baca juga: Dinilai Tak Wajar, Begini Isi Fatwa MA soal PAW Caleg PDI Perjuangan
Terhadap surat DPP PDI Perjuangan itu, KPU menjawab melalui surat KPU tertanggal 7 Januari 2020.
Dalam suratnya, KPU menegaskan tidak dapat memenuhi permohonan PAW atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
KPU beralasan permohonan DPP PDI Perjuangan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Sikap MA dikritik
Pengamat politik Jeirry Sumampow menilai putusan MA tersebut berpeluang membuka munculnya manipulasi.
"Memang lembaga-lembaga hukum kita, seperti MA ini harus berhati-hati. Sebab putusan MA membuka peluang bagi upaya atau kemungkinan manipulasi dan suap," ujar Jeirry dalam diskusi di kawasan Manggarai, Jakarta Pusat, Sabtu (11/1/2019).
Baca juga: Fatwa MA Soal PAW Caleg PDI-P Dinilai Tidak Wajar
Jeirry lantas mencontohkan situasi jika dalam kasus PAW anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, KPU setuju dengan putusan MA.
"Misalnya kemarin itu KPU tiba-tiba setuju melakukan PAW, mungkin enggak ada hal yang aneh. Sebab KPU bisa bilang (dasarnya) hanya putusan MA dan putusan MA itu menyebutkan bahwa soal PAW jadi kewenangan partai. Coba kalau anda bayangkan kejadiannya seperti itu," ungkap Jeirry.
Jika kondisinya demikian, dia menduga publik tidak akan memprotes keputusan KPU.
"Kalau pun ada yang protes lalu dimentahkan oleh KPU dengan logika regulasi tadi. Jadi ini memperlihatkan bahwa lembaga hukum kita harus hati-hati, " tegas dia.
Baca juga: Putusan MA Terkait Penghitungan Suara Berpeluang Timbulkan Suap
Jeirry mengakui jika sebagai lembaga hukum, MA memiliki wewenang untuk memproses dan memutuskan uji materi.
Namun, ia mengingatkan bahwa dalam konteks uji materi aturan kepemiluan, MA juga harus mempertimbangkan logika kepemiluan.
"MA tidak bisa membuat logika sendiri. Karena kalau kewenangan (soal penunjukan PAW) diberikan ke partai, dalam kasus PDI Perjuangan maka aneh, " tutur Jeirry.
Pasalnya, caleg PDI Perjuangan atas nama Nazarudin Kiemas yang posisinya diperebutkan sudah meninggal dunia.
Dengan begitu, status Nazarudin adalah tidak memenuhi syarat (TMS).
"Wong sudah TMS kok masih (diminta) ditetapkan suaranya kan tidak mungkin," tambah Jeirry.
Baca juga: Komisioner KPU: Tak Ada Parpol yang Minta PAW Seperti Cara PDI-P
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini mengkritisi keberadaan fatwa yang dikeluarkan oleh MA perihal putusan uji materi aturan pergantian antarwaktu yang diajukan PDI Perjuangan.