Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPU Hendak Larang Koruptor Ikut Pilkada, Bawaslu: Tak Boleh Jadi KPK Sekaligus DPR

Kompas.com - 07/11/2019, 14:52 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memberikan tanggapan atas rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020.

Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, tidak pas jika larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.

"Nanti KPU bisa merangkap (seolah-olah) jadi KPK dan juga DPR. Kan enggak boleh KPU merangkap jadi DPR dan KPK," ujar Bagja ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (7/11/2019).

Baca juga: Hendak Larang Eks Koruptor Maju di Pilkada, KPU Klaim Tak Langgar HAM

Dia mengingatkan, tugas KPU hanya menyelenggarakan pemilu.

"Bukan kemudian membuat aturan baru di luar undang-undang," lanjut Bagja.

Namun, menurut dia, Bawaslu setuju dengan usulan larangan itu. Hanya saja, Bawaslu lebih menyarankan larangan eks koruptor ikut pilkada diatur dalam undang-undang.

Bawaslu mendukung jika ada revisi UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang memuat larangan tersebut.

Baca juga: Ajukan Uji Materi ke MK, ICW-Perludem Usul Jeda 10 Tahun bagi Eks Napi Korupsi Maju Pilkada

Sebab, jika larangan eks koruptor ikut pilkada dimasukkan dalam PKPU, Bagja menilai akan menyalahi aturan.

"Kalau KPU melakukan itu (di PKPU), maka KPU melanggar konsep peraturan perundangan dan konsep supremasi hukum. KPU nabrak sana sini, tidak berdasarkan tatanan," tegas Bagja.

"Jadi tempatkan sesuatu sesuai tempatnya. KPU tidak adil jika menempatkan aturan itu di PKPU. Kalau mau adil tempatkan di UU dan serahkan kepada pembuat undang-undang (DPR)," lanjut Bagja.

Baca juga: Kata Tito Karnavian soal Rencana Eks koruptor Dilarang Ikut Pilkada...

Alasan lain, kata Bagja, jika aturan dituangkan dalam PKPU, akan rawan digugurkan saat diuji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Sebab, tidak memiliki dasar pada peraturan di atasnya, yakni UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

Bagja mengingatkan kejadian saat KPU mengatur larangan eks koruptor menjadi calon anggota legislatif (caleg) kemudian digugurkan oleh MA pada 2018 lalu.

Baca juga: KPU Ngotot Larang Eks Koruptor Maju di Pilkada 2020

Akibatnya, saat itu KPU harus mengubah aturan dan melakukan verivifikasi ulang saat tahapan pencalonan anggota legislatif sudah berlalun

"Di tengah jalan kan, akhirnya verivifikasi lagi. Itu yang repot. Karena itu KPU sebaiknya memikirkan baik-baik rencana ini, " tambah Bagja.

Sebelumnya, KPU hendak melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada tahun depan.

Baca juga: KPU: Kalau Pezina Saja Tak Boleh Maju Pilkada, Bagaimana Mungkin Eks Koruptor Dibolehkan?

Larangan tersebut dituangkan KPU dalam rancangan PKPU tentang Pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020.

KPU berpendapat, aturan tersebut tidak akan melanggar hak asasi seorang eks koruptor. Sebab, pada Pilpres tahun lalu pun, larangan serupa sudah ada.

"Dalam pemilu presiden dan wakil presiden itu salah satu syaratnya calon presiden maupun cawapres itu belum pernah korupsi. (Pilkada) ini kan pemilu juga. Kalau kemudian seperti itu, apakah itu dimaksud sebagai pelanggaran HAM? kan tidak," kata Komisioner KPU Wahyu Setiawan di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/11/2019).

Kompas TV Komisi Pemilihan Umum mengajukan draf peraturan KPU atau PKPUdalam rapat dengar pendapat antara komisi pemilihan umumdan komisi II DPR. Salah satunya mengenailarangan mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri dalam pilkada serentak 2020. Selain mantan koruptor, KPU juga melarang terpidana narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri dalam pilkada mendatang. Selain mengatur tentang latar belakang calon, rancangan PKPU juga mengatur pencalonan perseorangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com