Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polri Pastikan Gangguan Pendengaran Surya Anta Ditangani Dokter Polisi

Kompas.com - 09/10/2019, 06:00 WIB
Devina Halim,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes (Pol) Asep Adi Saputra memastikan, Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) Surya Anta Ginting mendapatkan perawatan dari tim dokter kepolisian.

Surya sebelumnya dikabarkan mengalami sakit pada telinga kanannya sehingga tidak dapat mendengar.

"Untuk saudara Surya Anta, informasi yang saya dapat beberapa waktu lalu yang bersangkutan memang sakit dan sudah diobati oleh tim dokter kesehatan Polri" kata Asep saat dijumpai di Hotel Amaroossa Cosmo, Jakarta Selatan, Selasa (8/10/2019).

Baca juga: Polisi Bantah Suryanta Ginting Ditahan di Ruang Isolasi

Asep memastikan, tim dokter kepolisian yang didatangkan dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Bidokkes) Polri masih dapat menangani keluhan Anta.

Oleh sebab itu, penyidik pun memandang belum diperlukan tim medis dari luar untuk menangani Anta.

"Sampai hari ini, tim Dokkes kami bisa menangani keluhan-keluhan tersebut. Jadi, belum dipandang perlu untuk berobat ke luar. Karena tim Dokkes kita juga sudah dilengkapi dokter ahli dan alat-alat yang memadai," papar Asep.

Baca juga: Suryanta Ginting Disebut sebagai Penghubung dengan Media Asing untuk Angkat Isu Papua Merdeka

Surya Anta beserta lima rekannya diketahui diamankan polisi karena diduga terlibat pengibaran bendera Bintang Kejora pada aksi unjuk rasa di seberang Istana Presiden, Jakarta pada 29 Agustus 2019 lalu.

Kini kelimanya ditahan di Rumah Tahanan Markas Korps Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Mereka dijerat pasal makar sebagaimana tercantum dalam Pasal 106 dan 110 KUHP. 

 

Kompas TV Ibrahim Datuk Tan Malaka, atau lebih diingat dengan nama Tan Malaka. Kisahnya dan sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia diungkapkannya dalam sejumlah risalah. Salah satunya berisi gagasan tertulis mengenai konsep Republik Indonesia kali pertama pada tahun 1925. Risalah ini dituliskannya dalam bahasa Belanda, <em>Naar de Republiek Indonesie, </em>atau menuju Republik Indonesia. Gagasan inilah yang kelak membuat tan malaka mendapat gelar kehormatan, Bapak Republik Bangsa. Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, telah mengenal risalah-risalah politik Tan Malaka sejak tahun dua puluhan. Dua di antaranya adalah <em>Naar de Republiek Indonesia,</em> dan <em>massa actie,</em> atau aksi massa. Tahun 1922, Tan Malaka diasingkan ke Amsterdam, Belanda. Di sinilah ia mulai aktif mempelajari gerakan kiri yang kelak digunakannya untuk melawan imperialisme di nusantara. Menilik kisah Tan Malaka, tak lepas dari sosok sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze. Poeze meneliti perjalanan hidup Tan Malaka lebih dari 40 tahun. Poeze adalah kepala penerbit di sebuah lembaga penelitian KITLV di Leiden, Belanda. Tahun 1976, Poeze meraih gelar doktor dari Universiteit Van Amsterdam dengan paparan rincinya mengenai riwayat Tan Malaka. Dan sejak tahun 1980, Poeze memulai penelitiannya dengan menemui sejumlah saksi sejarah untuk menggali informasi mengenai Tan Malaka. Tan Malaka aktif mengasah jiwa revolusinya sejak ia diasingkan di Belanda tahun 1922. Lebih dari 20 buah pemikiran tertulis dihasilkan Tan Malaka selama hidupnya. Dalam buku dari penjara ke penjara, Tan Malaka menceritakan perjalanannya lebih dari 20 tahun hidup mengembara berpindah-pindah negara. Puluhan nama samaran digunakannya demi mengelabui agen imperialis yang mengejarnya. Pasca kemerdekaan, Tan Malaka aktif bergerak bersama para tokoh nasional. Salah satunya adalah peristiwa di Lapangan Ikada, 19 September 1945, Tan Malaka berjalan menuju podium bersama soekarno. 17 Maret 1946, Tan Malaka beserta sejumlah pengikutnya ditangkap di Madiun, Jawa Timur dengan tuduhan hendak melakukan kudeta. September 1948, Tan Malaka dibebaskan dari penjara namun beberapa bulan setelah itu, 21 Februari 1949, Tan Malaka tewas diekseskusi di Kediri, Jawa Timur. Atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka mendapat gelar pahlawan nasional yang diberikan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, pada tanggal 28 Maret 1963. Apresiasi terhadap jasa Tan Malaka juga telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Sebuah jalan diberi nama Tan Malaka menghubungkan pusat kota Payakumbuh menuju Suliki, desa di mana Tan Malaka berasal. Dalam bukunya dari penjara ke penjara, Tan Malaka menulis bahwa dari dalam kubur suaranya akan lebih keras daripada dari atas bumi. Sama halnya meskipun Tan Malaka telah lama tiada, namun pemikirannya masih terus hidup di Republik Indonesia. #SINGKAP #TanMalaka
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com