JAKARTA, KOMPAS.com - Sehari sebelum proses wawancara terhadap 10 calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi III DPR menggelar Rapat dengar pendapat dengan elemen masyarakat sipil.
Rapat tersebut digelar untuk mendengarkan masukan dari publik sebagai bahan pendalaman dalam proses wawancara capim KPK. Pasalnya, tidak sedikit organisasi masyarakat sipil yang mengkritik hasil seleksi Pansel Capim KPK.
Namun, Komisi III terkesan bersikap pasif dalam menerima masukan. Sebelum rapat, tidak ada undangan khusus yang diberikan kepada kelompok pegiat antikorupsi maupun akademisi yang selama ini menyampaikan kritik keras.
Hanya ada tiga organisasi yang hadir saat rapat dengar pendapat, yakni Indonesian Police Watch (IPW), Presidium Perkumpulan Organisasi Kepemudaan Nasional, dan Presidium Relawan Indonesia Bersatu.
Baca juga: Dua Poin dalam Revisi UU KPK Ini yang Dinilai Lemahkan KPK
Surat permohonan audiensi dari IPW diterima oleh Komisi III pada Senin (9/9/2019). Sementara dua surat lainnya diterima satu jam sebelum rapat dengar pendapat.
"Hari ini kami khususkan untuk menerima masukan dari masyarakat manapun, sehingga masukan atau teriakkan jangan dari lorong gelap sana. Datanglah ke DPR bertemu dengan kami di sini," ujar Wakil Ketua Komisi III Herman Hery saat memimpin rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
"Hanya ada surat yang masuk, bahkan surat terakhir satu jam lalu kami masih terima. Kami akomodasi, kami hargai, Ini adalah masukan dari masyarakat," sambungnya.
Dalam rapat dengar pendapat tersebut, ketiga organisasi masyarakat sipil itu menyampaikan sikap yang nyaris sama. Tidak ada kritik terkait rekam jejak dan kualitas seluruh capim KPK.
Mereka mengapresiasi hasil kerja Pansel Capim KPK dan meminta Komisi III segera memilih 5 capim KPK periode 2019-2023.
Alih-alih memberikan masukan dan kritik soal capim KPK, ketiga elemen masyarakat itu justru menyoroti kinerja lembaga antirasuah.
Ketua Presidium IPW Neta S. Pane menilai saat ini KPK tidak menjalankan fungsi koordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Akibatnya, sebagian besar kasus yang ditangani KPK dinilai tidak signifikan dan tidak menargetkan kasus-kasus korupsi besar.
"KPK saat ini penuh kebobrokan dan bersikap semau gue," ujar Neta.
Menurut Neta, sebagai lembaga penegak hukum KPK seharusnya berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya, yakni Kepolisian dan Kejaksaan.
Namun hal itu justru tidak terjadi. Bahkan, kata Neta, upaya dan konsep pemberantasan korupsi tidak terkoordinasi dengan baik.