JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mencatatkan rekor sebagai UU yang paling sering direvisi.
Sejak 2014 sampai saat ini, UU tersebut sudah direvisi sebanyak tiga kali. Kini menjelang masa jabatan para anggota DPR periode 2019-2024 berakhir, usul untuk merevisi UU MD3 kembali mencuat.
Seluruh revisi ini tak lain bertujuan untuk bagi-bagi kursi antara anggota DPR serta memperkuat kewenangan para wakil rakyat.
Berikut revisi UU MD3 yang terjadi sepanjang tahun 2014 sampai hari ini:
Revisi Undang-Undang MD3 kala itu disahkan pada 8 Juli 2014, sehari menjelang Pemilu Presiden 2014.
Prosesnya berlangsung setelah Pemilu Legislatif 2014 selesai. Saat itu PDI-P keluar sebagai pemenang.
Akibat revisi ini, PDI-P selaku pemenang pemilu legislatif tak mendapat kursi pimpinan DPR. Sebab, kelompok oposisi berhasil mengubah aturan pemilihan pimpinan DPR berdasarkan sistem paket, yang sebelumnya berdasarkan sistem proporsional.
Baca juga: Revisi UU MD3, Alat Pemuas Syahwat Parpol
Melalui sistem proporsional, semestinya PDI-P langsung memperoleh kursi ketua DPR. Namun, dengan sistem paket PDI-P harus mengikuti pemilihan kembali di internal DPR.
Saat itu, polarisasi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) selaku kumpulan partai koalisi pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP) masih kuat.
Dengan adanya revisi UU MD3 pada Juli 2014 maka tak satu pun perwakilan KIH yang duduk di kursi pimpinan DPR.
Saat itu, KIH masih terdiri dari empat partai yakni PDI-P, PKB, Partai Hanura, dan Partai Nasdem. Sedangkan KMP terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PKS, dan PPP.
Selain mengubah sistem penetapan pimpinan DPR, revisi UU MD3 juga mengubah Pasal 245, di mana pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana tak butuh izin presiden, melainkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Dengan demikian pasal yang direvisi ialah Pasal 84 tentang penetapan pimpinan DPR dan Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana.
Baca juga: Bamsoet: Saya Tak Mau Lagi Terlibat Revisi UU MD3