JAKARTA, KOMPAS.com - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkritik kebijakan pemerintah terkait pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur.
Seperti diketahui pemerintah menetapkan sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia.
Dinamisator JATAM Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, pemindahan ibu kota justru akan menjadi beban bagi Kalimantan Timur.
Baca juga: Riset Medsos: Netizen Milenial Antusias Ibu Kota RI Pindah ke Kalimantan Timur
Pasalnya, ia menyebut 73 persen luas Kaltim sudah diberikan untuk izin ekstraksi sumber daya alam dalam bentuk konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan.
Sisanya, merupakan kawasan hutan lindung yang akan ditargetkan untuk ibu kota.
Menurut catatan JATAM terdapat 13,83 juta hektar izin dan 5,2 juta di antaranya adalah izin pertambangan.
Baca juga: Polemik Pemindahan Ibu Kota, soal Regulasi hingga Dugaan Deal Politik Jokowi-Prabowo
Data JATAM juga menyebut adanya 1.190 izin usaha pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara.
"Kaltim itu sudah menanggung beban atau krisis akibat kebijakan eksploitasi sumber daya alam. Sekarang dibebankan lagi dengan penunjukkan wilayah untuk ibu kota," ujar Rupang saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/8/2019).
Menurut Rupang, seharusnya pemerintah lebih dulu mengeluarkan kebijakan terkait pemulihan terhadap wilayah Kalimantan Timur.
Sebab dampak kerusakan alam dinilai sudah sangat parah dan perlu direhabilitasi.
Ia mengatakan, praktik eksploitasi sumber daya alam sudah terjadi sejak era Presiden Soeharto hingga saat ini.
"Tentu saja ini menjadi kemunduran karena Kaltim itu seharusnya bicara pemulihan dari kebijakan eksploitasi sumber daya alam sejak era soeharto sampai sekarang," kata Rupang.
"Seharusnya agenda yang diusung oleh Jokowi pascapemilu itu adalah Kaltim harus dipulihkan," ucapnya.
Tanpa Amdal
Selain itu, Rupang juga menyoroti penetapan provinsi Kalimantan Timur tanpa didahului dengan kajian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
"Belum ada kajian Amdal terkait hal itu," kata Rupang.
Baca juga: Anggaran Pindah Ibu Kota, Menteri PUPR: Sedang Dihitung Uang Mukanya
Menurut Rupang, sebelum penetapan rencana pemindahan, Bappenas hanya melakukan kajian mengenai kebutuhan dan daya dukung kawasan terkait pembangunan ibu kota.
Namun, Bappenas tidak melakukan kajian terkait dampak lingkungan terhadap kawasan sekitar ibu kota baru.
"Ketika melakukan kajian terkait kawasan Bappenas hanya melakukan kajian mengenai ibu kota. Kebutuhan dan daya dukung untuk ibu kota. Tapi bagaimana kawasan lain yang akan terdampak? Itu tidak mendapatkan kajian. Sebab kawasan itu adalah kawasan yang sangat rentan," tutur dia.
Deal Politik Jokowi-Prabowo
Rupang pun menduga ada kompensasi politik bagi Prabowo Subianto pasca-Pilpres 2019 di balik rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Baca juga: Menteri ATR Bantah Ada Lahan Prabowo Dipakai untuk Ibu Kota Baru
Seperti diketahui, pemerintah menetapkan sebagian wilayah Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia.
Dinamisator JATAM Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan, sebagian besar lahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya di Kecamatan Sepaku, dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama.
Kedua perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) itu disebut milik Prabowo dan Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris utama.
Baca juga: Aktivis Sebut Ada Deal Politik Jokowi dan Prabowo Soal Ibu Kota Baru
"Pemindahan ibu kota ini tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-bagi proyek pasca-pilpres,” ujar Rupang.
“Di Kabupaten Penajam Paser Utara terutama di Kecamatan Sepaku rencana ini (pemindahan ibu kota) akan menguntungkan Hashim Djojohadikusumo karena lahan di sana dikuasai oleh PT ITCI Hutani Manunggal IKU dan ITCI Kartika Utama," ucapnya.
Menurut Rupang, PT ITCI Kartika Utama mengantongi SK Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHHK) dengan nomor SK.160/Menhut-II/2012.
Baca juga: Diakui, Ada Lahan Milik Prabowo di Wilayah Ibu Kota Baru
Dalam dokumen itu Rupang menyebut PT ITCI Kartika Utama menguasai izin usaha pemanfaatan hutan seluas 173.395 hektar lahan di Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.
Dengan demikian, pemerintah harus memberikan kompensasi terhadap perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan jika ingin mengambilalih lahan yang dikuasai untuk membangun ibu kota.
Selain itu, Rupang juga menduga pemindahan ibu kota hanya akan menguntungkan pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur.
Baca juga: BMKG Sebut Ibu Kota Baru Relatif Aman Dari Ancaman Gempa dan Tsunami
Menurut data JATAM, terdapat 1.190 IUP di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara.
"Pemindahan berkedok mega proyek ini hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur," kata Rupang.
"Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang, PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja dan ini akan sangat diuntungkan," ujar dia.
Baca juga: Prabowo Sebut Pemindahan Ibu Kota Bagian dari Perjuangan Gerindra
Saat dikonfirmasi, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo membantah ketua umumnya, Prabowo Subianto, mendapat kompensasi politik dari rencana pemindahan ibu kota.
Bahkan Edhy menegaskan bahwa Prabowo akan memberikan lahan yang dikuasai jika diminta oleh pemerintah.
"Saya rasa enggak. Pak Presiden punya pemikiran lebih besar dari itu. Tapi sekalipun tidak ada apa-apanya bagi kami, demi bangsa dan negara kalau diminta lahan kami pun Pak Prabowo pasti mau," ujar Edhy saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/8/2019).