SETELAH sekian lama, setidaknya ketika masa pemerintahan Orde Baru, persoalan tentang ada dan tidaknya oposisi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kembali menghangat.
Ketika Pemilihan Presiden 2019 yang baru saja berakhir dengan segala macam peristiwa yang mengiringinya, muncullah kembali bagaimana posisi dari partai pengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Intinya, ada yang berpendapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bisa saja ada oposisi. Ada juga yang menyatakan tidak ada oposisi.
Dalam perspektif mengenai hal ini, klarifikasi tentang ada atau tidaknya oposisi merujuk pada tiga tingkatan, yaitu pada tingkatan norma, tingkatan asas, dan tingkatan filosofi. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang memerlukan pemahaman seksama pada tingkatan masing-masing.
Pemahaman mengenai ketiga perspektif itu didasarkan pada pemahaman umum mengenai apa itu oposisi. Dalam sistem ketatanegaraan atau pemerintahan negara, opposition lazim diterjemahkan menjadi oposisi jika diklarifikasi berdasarkan makna letterlijk. Kata itu berasal dari bahasa Latin opponere, yang berarti menentang, menolak, melawan.
Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi, tergantung pada cara pandang dari partai politik yang bersangkutan. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok yang secara formal tergabung dalam parpol dimaksud.
Oposisi dalam perspektif administrasi pemerintahan dipandang sebagai kelompok yang tergabung dalam partai politik sebagai penentang atau berada pada pihak berseberangan terhadap berbagai kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pemerintah di sini berarti representasi pemenang parpol dalam pemilu.
Kinerja oposisi diidentifikasi sebagai penentang dan pengkritik terhadap pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa.
Agar memperoleh kesan lebih halus, karena kesan oposisi itu cenderung keras dan ekstrem, maka dipakailah istilah golongan penyeimbang. Perannya memberikan keseimbangan terhadap berbagai program dan kebijakan pemerintah yang pada dasarnya sekadar mencermatinya dari perspektif berbeda. Jadi lebih cenderung pada cara pandang semata.
Dari perspektif normatif, atau konkretnya dalam aturan perundang-undangan, tidak ada satu pun pasal yang menggariskan mengenai oposisi. Jadi secara letterlijk tidak ada istilah mengenai oposisi.
Dari hal inilah kemudian banyak pihak menyatakan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal oposisi. Sistem ketatanegaraan dan perpolitikan Indonesia tidak mengenai kekuatan oposisi.
Dari perspketif asas hukum, penyelesaian berbagai permasalahan dalam kegtatanegaan dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
Tidak ada oposisi pada tigkatan ini, yang menyebabkan adanya semacam argumentasi bahwa berbagai permasalahan yang ada yang kemudian timbul akibat dari kebijakan pemerintah yang memegang kekuasaan dilaksanakan berdasarkan prinsip kebersamaan. Tidak ada masalah yang kemudian diselesaikan bedasarkan konflik dengan segala dimensinya.
Pada tingkatan ini, pada pengambilan keputusan dimanifestasikan khususnya pada ranah legislatif, dengan mekanisme yang didasarkan pada musyawarah untuk mencapai mufakat dimaksud.
Dengan demikian, sebagai manifestasi dari opisisi, istilah partai penyeimbang memang senantiasa berseberangan dengan pemerintah. Artinya, lebih menitikberatkan pada pandangan atau perspektif yang berbeda dalam mencermati suatu masalah.