Namun lebih dari itu, golput dalam segala bentuknya bukanlah sasaran empuk penghinaan atau penghakiman.
Para pihak harus merangkul kalangan penganut paham golput, membuka ruang dialog dan diskusi tanpa bully, benci, penghinaan, dan penghakiman. Justru dengan memberi stigma negatif kepada penganut paham golput akan mempertebal resistensi para penganutnya untuk memberikan hak suara.
Di sinilah peran para elite dibutuhkan. Para pemimpin politik harus memberikan bukti sikap dan perilaku yang "fair" dan "adil" terhadap penganut paham golput untuk dapat merangkul mereka ke dalam sistem pemilihan umum yang akan diselenggarakan.
Pertama, para pemimpin harus memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya pada sikap politik yang diambil oleh para penganut paham golput.
Memberi appresiasi mengandung arti "menghormati" dan "menghargai" hak asasi setiap warga negara dalam menyatakan sikap politik dan sikap terhadap sistem yang sedang berjalan.
Artinya, menghina, menghakimi, memberi stigma negatif, yang kerab kita lihat selama ini, adalah sikap yang kurang demokratis, terutama di mata para penganut paham golput.
Selama publik, terutama para elite politik, menghakimi sikap politik golput, maka diyakini selama itu pula sikap golput tersebut semakin mengental di dalam darah politik para penganutnya.
Mengapa demikian? Karena golput lahir dari keyakinan bahwa di dalam demokrasi, setiap hak politik perlu dihormati dan setiap sikap politik yang diambil harus diperlakukan secara demokratis pula, bukan justru dirundung dan dihakimi.
Oleh karena itu, pembukaan ruang dialog seluas-luasnya adalah jalan terbaik untuk merangkul para penganut paham golput ke dalam sistem politik.
Kedua, diskusi dan dialog yang dialektis tersebut harus dibangun di atas komitmen bersama bahwa apapun sikap politik yang diambil adalah dalam rangka ikut membangun bangsa dan negara serta untuk memapankan pergerakan demokratisasi Indonesia.
Oleh karena itu, sikap politik yang diambil haruslah didasarkan pada prosedur dan mekanisme demokrasi.
Memang sikap politik untuk tidak menggunakan hak politik adalah bagian dari ekspresi sikap politik yang harus diappresiasi secara demokratis, namun pembuktian dari sikap politik akan lebih baik dan lebih demokratis jika diaktualisasikan di dalam bilik suara karena dengan cara itulah proses penguatan dan institusionalisasi demokrasi bisa diperjuangkan.
Komitmen demokrasi semestinya dibangun di atas prosedur dan mekanisme demokrasi. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat partisipasi politik dalam proses demokrasi elektoral akan menentukan kualitas legitimasi pemimpin terpilih.
Singkatnya, bukan hanya sikap politik para penganut golput yang perlu digugah, tapi juga persepsi dan cara publik dalam menyikapi keberadaan sikap politik golput.
Dengan menunjukkan sikap yang apreasitif dan bersahabat dengan penganut golput, diharapkan akan mempertebal keyakinan kepada proses demokrasi yang ada.
Untuk konteks pilpres-pileg kali ini, saya yakin, para penganut paham golput sudah mengambil ancang-ancang untuk ikut memilih karena tidak semua elite politik, tidak semua pelaku politik, dan tidak semua kandidat politik yang menghakimi para penganut paham golput.
Masih banyak pihak di dalam sistem politik hari ini yang arif dalam memandang sikap politik golput dan bersedia membuka ruang selebar-lebarnya untuk melibatkan mereka dalam proses politik ke depan, bukan justru ingin menghabisi mereka dengan UU Terorisme atau dengan perangkat hukum lainya. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.