Golput saat itu juga menjadi kritik terhadap Orde Baru, karena dengan atau tanpa adanya pemilu, kekuatan yang akan menang adalah TNI dan ABRI.
Namun, golput bukan hanya gerakan usang. Gerakan golput ideologis dengan tujuan mengkritik rezim juga terjadi di Malaysia baru-baru ini.
Pada masa pemilu raya yang mempertemukan Mahathir Mohamad dan Najib Razak, sekelompok pemuda Malaysia muncul dengan tagar #UndiRosak yang mempromosikan gerakan golput alias tidak memilih Najib Razak maupun Mahathir Mohamad.
Gerakan golputnya juga tidak dilakukan dengan meninggalkan tempat pencoblosan, namun juga merusak kertas suaranya, sesuai bunyi tagar #UndiRosak yang berarti rusak kertas undi.
Hal tersebut dilakukan supaya partai politik tidak memanfaatkan kertas suara yang kosong tersebut.
Gerakan tersebut juga diiniasi oleh para anak muda yang pernah berkecimpung di Barisan Nasional dan Pakatan Harapan, ikatan koalisi pemerintah.
Mereka mengaku lelah karena belum juga bisa memperbaiki sistem di dalamnya walau sudah bergabung dengan Barisan Nasional maupun Pakatan Harapan.
Ada asumsi bahwa terdapat defisit demokrasi, sehingga mereka meninggalkan BN-PH karena kondisi politik dianggap semakin melelahkan.
Di Italia, bahkan gerakan golput mampu menjadi mesin politik baru, yakni partai politik Five Star Movement (M5S) yang berdiri pada 2009. Partai yang penuh kontroversi tersebut, karena didirikan oleh seorang komedian bernama Beppe Grillo, mengusung ideologi anti-establishment atau antipemerintah.
Kini setelah hampir satu dekade berdiri, para politisinya terus bergerak menyebarkan nilai populisme.
Melihat dari contoh-contoh yang ada, gerakan golput sulit untuk dikatakan sebagai sebuah ekspresi apatis, tak paham politik, apalagi antidemokrasi.
Arief Budiman dan kelompok #UndiRosak di Malaysia yang menggalakkan gerakan golput malah memperlihatkan kesadaran dan pemahaman politik serta keadaan negaranya yang cukup tinggi.
Lebih dari itu, sebelum terlalu jauh menghakimi, alangkah baiknya memahami seperti apa sebenarnya kondisi teknis golput tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Bismar Arianto, misalnya, mengklasifikasikan adanya faktor internal dan eksternal dari golput.
Faktor internal lebih disebabkan oleh persoalan teknis, seperti tidak menggunakan hak pilih karena sedang bekerja atau sakit.
Adapun faktor eksternal terjadi karena persoalan, seperti masalah administrasi, sosialisasi, dan sikap politik.
Dalam konteks ini, pemilih bisa saja tidak memilih karena terkendala administrasi. Atau, karena faktor sosialisasi yang tidak merata sehingga pemilih merasa tidak perlu menggunakan hak pilihnya.
Menghadapi konteks internal dan eksternal, saat ini pemerintah mulai membenahi dan mengubah mekanisme pemilu.
Bila berkaca pada pemilihan kepala daerah lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan hari pencoblosan sebagai hari libur nasional guna mengurangi hambatan faktor internal.
Sosialisasi yang gencar dilakukan jauh-jauh hari sehingga masyarakat mengetahui pelaksanaan pilkada.