Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mengapresiasi dan Merangkul Golput

Kompas.com - 16/04/2019, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SECARA umum, wacana golongan putih (golput) lahir dari rasa tidak puas pribadi atau kalangan tertentu di dalam masyarakat terhadap sistem kekuasaan yang ada, yang akhirnya berujung pada ketidakbersediaan untuk menerima mekanisme rekrutmen politik dalam sistem dan proses demokrasi.

Rasa tidak puas dan kecewa tersebut sejatinya bisa saja dialamatkan kepada berbagai macam hal, mulai dari kandidat yang ada, konteks pelaksanaan pemilu, atau aktivitas demokrasi dan elektoral secara umum.

Dalam konteks Indonesia, jika dilihat dari kemunculan awalnya, wacana golput mulai menjadi pembicaraan umum pada pemilu tahun 1971. Kala itu, terjadi kekecewaan pada proses pemilu dan beberapa partai politik yang ikut berlaga di dalamnya, termasuk pada Golkar yang dianggap sama saja dengan partai lain.

Gerakan tersebut kerap diidentikkan dengan sesosok aktivis Angkatan 66, yakni Arief Budiman, yang dianggap memperluas wacana "memilih untuk tidak memilih".

Saat itu, Arief menyebut bahwa alasannya untuk golput adalah pemerintah telah melanggar demokrasi, terutama dalam hal kebebasan berserikat dan berpolitik. Nuansa perlawanan amat kentara dalam gerakan golput yang dibawa oleh Arief dan kawan-kawan saat itu.

Nah, dalam konteks tersebut, perilaku golput sebenarnya memiliki kaitan erat dengan political alienation atau alienasi politik, yakni sebuah konsep yang menggambarkan pengasingan diri dari sistem politik. Konsep seperti itu pernah diungkapkan, misalnya, oleh Marvin E Olsen.

Secara spesifik, alienasi politik yang terjadi dalam kasus gerakan golput dapat dikategorikan sebagai alienasi yang terkait dengan discontentment atau ketidakpuasan.

Dalam hal ini, pilihan untuk melepaskan diri dari sistem politik hadir dari keinginan diri sendiri dan dilakukan secara sadar. Beberapa pakar berpendapat bahwa golput yang berkaitan dengan ketidakpuasan semacam itu cenderung berbeda dari apatisme politik.

Rasa apatis terhadap politik umumnya berujung pada gerakan tidak memilih karena sama sekali tidak peduli dengan aktivitas dan proses politik yang terjadi.

Sementara itu, golput melalui ketidakpuasan, terutama merujuk pada gerakan Arief Budiman yang tetap hadir ke tempat pemungutan suara untuk memilih bagian putih dari surat suara, bukan karena apatisme politik.

Merujuk pada hal itu, rasa tidak puas dari pendukung wacana golput versi 1971 tersebut dilakukan di dalam bilik suara. Hal itu sesuai dengan asal nama golput itu sendiri yang mendorong untuk mencoblos bagian putih pada kertas suara.

Sejatinya, sebelum secara membabi-buta menyalahkan para penganut paham golput, kita, terutama para pihak yang terkait langsung dengan demokrasi elektoral, harus menghargai "drive" pun motivasi di balik keputusan tersebut.

Tak sedikit dari penganut golput memiliki landasan pemikiran yang rasional alias sangat pantas didengarkan terlebih dahulu sebelum dihakimi.

Sebut saja, misalnya, stance point seperti yang pernah disampaikan Pelawak asal Amerika Serikat (AS), Kin Hubbard. Ia pernah berkata, "Saya ingin memilih orang terbaik untuk menjadi pemimpin, sayangnya mereka semua bukanlah kandidat yang ada saat ini."

Celoteh Hubbard bisa sejalan dengan kelompok yang melakukan golput, yakni kelompok atau individu yang tidak menggunakan hak pilih politiknya untuk memilih kandidat yang ada atas alasan "absennya keterwakilan calon pemimpin" yang mereka harapkan.

Oleh karena enggan memakai haknya, kelompok golput seringkali dicap sebagai kelompok atau individu apatis, antidemokrasi, bahkan tak peduli dengan negara.

Dalam beberapa kesempatan, bahkan kata golput juga menjadi momok tersendiri bagi pemerintah atau politisi karena berpotensi memengaruhi perolehan suara kandidat yang bertanding.

Dalam teori protest voting, gerakan golput tidak mengindahkan kandidat yang ada, walau nyatanya berpotensi sekalipun, guna mengirim sinyal protes kepada pemerintah dan harapan mendapatkan kandidat yang lebih baik.

Gerakan golput ideologis yang dilakukan pada 1990-an dan digawangi oleh Arief Budiman menjadi gerakan moral bagi rakyat Indonesia untuk menggunakan hak dan keyakinannya untuk tidak memilih siap apun.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi: Mudik Tahun ini Kenaikannya 56 Persen, Total Pemudik 190 Juta

Jokowi: Mudik Tahun ini Kenaikannya 56 Persen, Total Pemudik 190 Juta

Nasional
Jawaban Puan Ditanya soal Wacana Pertemuan Prabowo-Megawati Usai Pilpres 2024

Jawaban Puan Ditanya soal Wacana Pertemuan Prabowo-Megawati Usai Pilpres 2024

Nasional
Yusril Kutip Ucapan Mahfud soal Gugatan ke MK Bukan Cari Menang, Sebut Bertolak Belakang

Yusril Kutip Ucapan Mahfud soal Gugatan ke MK Bukan Cari Menang, Sebut Bertolak Belakang

Nasional
Tunggu Langkah Prabowo, Golkar Tak Masalah PDI-P Merapat ke Koalisi Pemerintahan Selanjutnya

Tunggu Langkah Prabowo, Golkar Tak Masalah PDI-P Merapat ke Koalisi Pemerintahan Selanjutnya

Nasional
Yusril Kembali Klarifikasi Soal 'Mahkamah Kalkulator' yang Dikutip Mahfud MD

Yusril Kembali Klarifikasi Soal "Mahkamah Kalkulator" yang Dikutip Mahfud MD

Nasional
Setelah Lebaran, Ketua MA Proses Pengisian Wakil Ketua MA Non-Yudisial dan Sekretaris MA yang Kosong

Setelah Lebaran, Ketua MA Proses Pengisian Wakil Ketua MA Non-Yudisial dan Sekretaris MA yang Kosong

Nasional
Jokowi: Saya Tidak Mau Berkomentar yang Berkaitan dengan MK

Jokowi: Saya Tidak Mau Berkomentar yang Berkaitan dengan MK

Nasional
KPU dan Kubu Prabowo Kompak, Anggap Gugatan Anies dan Ganjar Langgar Aturan MK

KPU dan Kubu Prabowo Kompak, Anggap Gugatan Anies dan Ganjar Langgar Aturan MK

Nasional
Sekjen Golkar: Bayangkan kalau Kita Lagi Siapkan Pilkada, Malah Bicara Munas, Apa Enggak Pecah?

Sekjen Golkar: Bayangkan kalau Kita Lagi Siapkan Pilkada, Malah Bicara Munas, Apa Enggak Pecah?

Nasional
Singgung Pernyataan Puan soal Hak Angket Pemilu, Golkar: Yang Usulkan Ternyata Belum Berproses

Singgung Pernyataan Puan soal Hak Angket Pemilu, Golkar: Yang Usulkan Ternyata Belum Berproses

Nasional
UU DKJ Disahkan, Gubernur Jakarta Tetap Dipilih Langsung Rakyat

UU DKJ Disahkan, Gubernur Jakarta Tetap Dipilih Langsung Rakyat

Nasional
THN Ungkap Praktik Pembatalan Hasil Pemilu Terjadi di Berbagai Negara

THN Ungkap Praktik Pembatalan Hasil Pemilu Terjadi di Berbagai Negara

Nasional
Jelaskan Kenapa Hak Angket Pemilu Belum Berjalan, Fraksi PKB Singgung soal Peran PDI-P

Jelaskan Kenapa Hak Angket Pemilu Belum Berjalan, Fraksi PKB Singgung soal Peran PDI-P

Nasional
Kubu Prabowo Anggap Permintaan Diskualifikasi Gibran Tidak Relevan

Kubu Prabowo Anggap Permintaan Diskualifikasi Gibran Tidak Relevan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Putus Gugatan Anies-Muhaimin Cacat Formil

Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Putus Gugatan Anies-Muhaimin Cacat Formil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com