SEPEKAN yang menentukan. Ada sejumlah "pergerakan" yang menarik dicermati. Masif, Unik, dan penuh gimik. Inikah cara kandidat menyeka gangguan yang menerpa?
Sepekan menjelang, ada sejumlah aksi-aksi unik yang bisa dicermati. Aksi ini bukan hanya dalam waktu dekat, tapi dibangun dalam kaitan dengan aksen yang telah terbentuk sebelumnya.
Dalam buku An Introduction to Political Communication, Brian McNair mengungkapkan bahwa iklan politik tak akan lagi punya kekuatan digdaya. Aksi spontan lah yang membuat kapitalisasi pesan dalam berbagai kanal komunikasi massa (termasuk media sosial) akan terlipatgandakan (McNair, 2003).
Terlepas itu disengaja atau tidak, pasti akan menjadi sebuah dasar untuk menguatkannya, terlebih di era Post-Truth saat ini di mana media sosial berperan besar dalam sisi orisinalitasnya. Peristiwanya yang bisa jadi biasa, tapi amplifikasi dan pesannya jadi luar biasa!
Bumbu-bumbu yang menyertai juga tak kalah menggetarkan. Ada bumbu yang gurih, ada pula yang pahit. Tergantung si peracik hendak membuat bahan akan jadi seperti apa.
Saya mulai dengan pemandangan saat Presiden Joko Widodo, yang hendak pulang kerja dari Jakarta menuju Istana Bogor, dengan menggunakan KRL.
Ada suasana tak biasa di sini. Pertama, Jokowi (saat itu memang bukan sedang kampanye, melainkan pulang kerja sebagai Presiden), nyaris tak tampak sama sekali pengawalan dari Paspampres.
Meski belakangan diketahui, Komandan Paspampres Mayor Jenderal TNI Maruli Simanjuntak yang berada beberapa meter dari Jokowi yang kala itu tengah diapit rapat sejumlah penumpang lainnya.
Baca juga: Pulang ke Istana Bogor, Jokowi Naik KRL Commuterline
Aksi berbahaya? Pihak keamanan yang lebih tahu, meski risiko pasti ada, dan Paspampres saya meyakini sudah menyiapkan Contigency Plan (Rencana Darurat), jika terjadi sesuatu.
O iya, suasana ini, sama sekali tidak ada media yang meliput. Sang Presiden menyebut, ia pulang naik KRL di jam yang sedang penuh-penuhnya (17.45 wib) , tak ada rencana alias mendadak.
"Ya tujuannya untuk melihat kondisi yang sebenarnya. Dan kita betul-betul merasakan betul kondisi sebenarnya. Mau bergerak saja tidak bisa, terutama yang dari Jakarta ke Depok itu mau bergerak saja tidak bisa," kata Jokowi kepada wartawan di sela-sela kunjungan kerja di Lampung Selatan, Jumat dua hari setelahnya (8/3/2019).
Kita simpan sementara suasana Jokowi di KRL-nya...
Saya beralih ke suasana Capres 02, Prabowo Subianto, saat kampanye di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat orasi di panggung, mendadak seorang nenek tua, naik ke atas, memeluk Prabowo. Sontak riuh rendah banyak pendukung bergemuruh. Suasana haru menyelimuti.
Tak kurang sang Nenek yang belakangan diketahui bernama Irah, bersaksi "Demi Allah, saya tidak terima uang Rp 500.000 dari Pak Prabowo", katanya sambil menangis. Kasihan nenek tua yang hingga terbawa arus politik era Post-Truth.
Baca juga: Peluk dan Cium Prabowo, Nenek Irah: Satu Peser Pun Saya Tak Pernah Terima Uang