Nama saya terdengar sangat Jawa. Dari wajah pun sudah terlihat Jawa, meskipun mata sedikit tipis.
Beranjak tua, kesadaran identitas itu mulai memudar. Saya tak lagi memandang tradisi orang Jawa sebagai sesuatu yang wajib dijalankan. Soal selametan atau ruwatan misalnya, perlahan saya menilainya sebagai hal yang profan, bukan sakral.
Sebagai orang yang berasal dari keluarga besar Nahdliyin, saya perlahan memahami ajaran Muhammadiyah, yang memandang selametan bisa saja diganti syukuran. Tapi ini bukan berarti saya secara serampangan menolak semua tradisi Jawa atas nama agama.
Cara memandang tradisi yang perlahan pudar ini juga membuat saya lama-lama merasa asing dengan akar kultural saya sebagai orang Jawa.
Entah disadari atau tidak, bisa jadi ini merupakan realitas masyarakat perkotaan, terutama Jakarta. Sebab, biasanya, suku seseorang baru terlihat saat acara besar, seperti resepsi pernikahan misalnya.
"Oh dia orang Minang. Itu ada hiasan rumah gadang di pelaminan".
"Ternyata dia orang Jawa, ya... Tadi banyak banget upacara yang dijalanin".
Sounds familiar?
Intinya, saya masih memandang saya sebagai orang Jawa. Di sisi lain, lebih dari tiga dasawarsa berada di Jakarta membuat saya memahami diri saya sebagai "orang Jakarta": hasil pembauran multietnis, multikultur, multibudaya, yang (bisa jadi) semakin longgar memandang tradisi asal.
Perihal Tionghoa
Nah, mengenai keturunan Tionghoa, kesadaran ini sebenarnya baru muncul sejak usia belasan. Ini bermula pada suatu masa di Jalan Malioboro, saat bapak saya berbasa-basi dengan dua orang turis asing.
Sepasang turis itu berasal dari Hong Kong, dan kebetulan bapak saya beberapa kali ke sana hingga perbincangan pun semakin akrab. Hingga kemudian, salah satu turis bertanya: "Are you Chinese? Because you look like Chinese."
Kisah lain adalah saat saya diberi tahu soal garis silsilah keluarga besar bapak, yang disebutnya sebagai Keluarga Cilacapan. (Dalam silsilah ini ada sejumlah nama tokoh, termasuk KH Saifuddin Zuhri. Ini berarti saya ada garis saudara dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan berkerabat dengan Abdurrahman Wahid, hehehe).
Ingatan saya samar-samar soal ini. Tapi kalau tidak salah silsilah itu merujuk ke salah satu Sunan dalam Wali Songo, sepertinya Sunan Giri, yang juga ada garis keturunan Tionghoa. Setelah tahu ini, saya pun semakin paham bahwa bisa jadi memang ada darah Tionghoa juga pada diri saya.
Mengenal silsilah ini menjadi fragmen yang cukup saya ingat sampai sekarang. Ada istilah dalam bahasa Arab, "Man 'arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu.." Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya. Memahami silsilah, saya anggap sebagai cara mengenali diri sendiri.
Karena itu, jika ditanya "orang mana?", kemudian saya akan menyertakan jawaban bahwa saya ada keturunan Tionghoa, meski selama menjalani hidup tanpa tradisi layaknya orang Tionghoa kebanyakan.
Tentang identitas
Sejarah mencatat bahwa pertumpahan darah besar-besaran bisa disebabkan karena masalah identitas. Betul bahwa identitas dapat menumbuhkan kebencian. Namun, kebencian ini tak sontak datang tiba-tiba.
Kebencian itu diajarkan. Kebencian itu menular. Walaupun saya yakin awal kebencian itu tak muncul semata karena identitas, tapi dipengaruhi konflik kalangan elite.