JAKARTA, KOMPAS.com - Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menyatakan, tenggat waktu tiga tahun bagi DPR untuk mengubah Undang-undang Tentang Perkawinan merupakan batasan waktu yang moderat.
"Saya kira itu (tenggat waktu) berkaca pada putusan-putusan terdahulu, misalnya UU KPK tentang UU Tipikor dan UU APBN tahun 2005-2006 diberikan batasan waktu yang moderat untuk melakukan perubahan," kata Fajar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Baca juga: MK Beri Batas Waktu 3 Tahun untuk DPR Ubah UU Perkawinan Anak
"Barang kali selama tiga tahun ini ada hal lain yang bisa diubah di UU yang sudah berlaku 44 tahun itu," tambahnya.
Namun, sepanjang rentang tiga tahun tersebut, kata Fajar, UU Perkawinan yang berlaku saat ini tetap berjalan.
Baca juga: Hapus Praktik Perkawinan Anak, Menteri Yohana Dorong Revisi UU Perkawinan
Adapun MK tak bisa memutuskan batasan umur dalam UU tersebut lantaran kewenangan sepenuhnya ada di DPR.
"UU Perkawinan tetap berlaku sampai tenggat waktu tiga tahun itu. Kami berikan kesempatan kepada DPR untuk mengubah tentang batas umur karena UU yang mereka buat sifatnya lebih fleksibel," imbuhnya.
Lebih jauh, seperti diungkapkan Fajar, jika DPR belum bisa menyelesaikan tenggat waktu yang sudah ditentukan, maka batas usia perkawinan harus diselaraskan sesuai UU Perlindungan Anak yang menyebutkan usia di bawah 18 tahun masih dalam kategori anak-anak.
"Kalau tidak ada perubahan, maka menurut pertimbangan MK, usia minimal perkawinan itu harus diharmoniskan UU Perlindungan Anak," tuturnya.
Baca juga: Ketentuan Batas Usia Nikah di UU Perkawinan Mendiskriminasi Kaum Perempuan
Sebelumnya, Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan digugat sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil karena perbedaan batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
UU tersebut dinilai menimbulkan diskriminasi dan melanggar UU Perlindungan Anak karena banyaknya perempuan yang terpaksa menikah saat menginjak usia di bawah usia 16.