JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai penyelesaian kasus HAM masa lalu merupakan tugas semua rezim pemerintahan, bukan hanya di pemerintahan sekarang.
Hal itu disampaikan Kalla saat ditanyai komentarnya terkait pernyataan mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar yang menilai Presiden Joko Widodo tak memiliki kapasitas menyelesaikan permasalahan HAM.
"Iya, pelanggaran HAM yang dikatakan berat, pada masa lalu, itu berarti sudah melalui 4 pemerintahan, jadi bukan hanya masa sekarang. Karena itu kejadiannya, ya hampir semuanya sebelum reformasi. Waktu masih zaman kita otoriter," kata Kalla saat ditemui di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Baca juga: JK: Pemerintah Tak Selalu Tertuduh dalam Pelanggaran HAM, Terkadang Jadi Korban
"Jadi, yang terjadi ini, bukan hanya pemerintah sekarang. Pemerintah sebelumnya juga. Berarti, sama-sama kita bertanggungjawab. Tapi ini memang hal tidak mudah, untuk memeriksa lagi suatu peristiwa yang 20, 50 tahun lalu," lanjut Kalla.
Ia menilai sulit untuk menyelesaikan permasalahan HAM masa lalu seperti kasus Semanggi sebab rekonsiliasinya rumit.
Ia menambahkan dalam peristiwa pelanggaran HAM yang melibatkan banyak orang sangat sulit untuk dilakukan rekonsiliasi.
Baca juga: Komnas HAM dan Brimob Luncurkan Buku Saku HAM
Saat ditanya apakah dimungkinkan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Kalla menjawab hal itu tetap saja tidak mudah.
"Katakanlah peristiwa apa, Semanggi. Antara siapa dengan siapa harus rekonsiliasi. Kalau peristiwa G30S, antara siapa dengan siapa. Jadi tidak mudah," ujar Kalla.
"Berbeda dengan rekonsiliasi KKR yang dilakukan di Afrika Selatan. Antara putih dan hitam, jelas seperti itu. Jadi kalau rekonsiliasi antara penduduk kulit putih dan hitam, itu yang terjadi. Sehingga mereka mengemukakan forgive but not forget," lanjut dia.