JAKARTA, KOMPAS.com- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD.
Kemudian, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) setali tiga uang meneguhkan keputusan MA tersebut.
Keputusan tersebut berarti Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) Lucius Karus menuturkan, bila melihat sejarah pembentukan DPD memang dipisahkan dari keterwakilan politik sebagaimana DPR.
Baca juga: Soal Pencalonan Anggota DPD, KPU Diminta Acu Putusan MK
DPD sebagai perwakilan daerah dan DPR sebagai perwakilan politik.
“Kalau menjadi representasi dari obyek yang sama, buat apa DPD repot-repot dibentuk? Karena itu, mau keputusan hukumnya seperti apa, tetap akal sehat kita akan nampak lucu dan aneh ketika seorang pengurus partai menjadi caleg DPD,” tutur Lucius saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/11/2018).
“Bagaimana bisa sudah jadi elit parpol, kok masih enggak pede (percaya diri) untuk maju menjadi caleg DPR? Ini kan dagelan yang enggak lucu, pengurus partai malah nyaleg DPD,” sambung Lucius.
Meski demikian, Lucius enggan untuk menghadapkan keputusan MK “versus” MA atau PTUN. Menurut ia, level keputusan terkait uji materi soal larangan pengurus parpol menjadi DPD berbeda.
Baca juga: Yusril Minta KPU Masukkan OSO dalam DCT DPD karena Gugatannya Dikabulkan PTUN
Namun, menurut Lucius, keputusan MK memiliki level yang sejajar dengan Undang-Undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimaksud adalah putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang dibacakan pada Senin, (23/7/2018). Putusan itu menyatakan, anggota DPD dilarang rangkap jabatan sebagai anggota partai politik.
Dengan demikian, tutur Lucius, ketika ada putusan yang saling bertentangan antara lembaga hukum, maka mestinya yang dilakukan adalah kembali ke aturan paling tinggi.