Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Palupi Annisa Auliani
Tukang Ketik

Pekerja media. Dari cetak, sedang belajar online dan digital, sambil icip-icip pelajaran komunikasi politik di Universitas Paramadina.

Nasib Rakyat, Dipaksa Menonton Drama Kemalasan Partai Politik

Kompas.com - 09/08/2018, 12:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Masalahnya, kalau semua orang begitu, yang bakal berpesta pora juga adalah sekelompok kecil orang-orang pemilik akses kepada kekuasaan tersebut, baik secara langsung maupun tidak.

Di negara yang derajat demokrasinya lebih matang, partisipasi dalam pemilu sejatinya bukan lagi ukuran keberhasilan regenerasi kepemimpinan dan sistem politik berjalan. Itu pun masih bisa kecolongan, seperti Amerika Serikat yang mendadak dipimpin Donald Trump sehingga tak berselang waktu lama sejumlah warga meminta ada pemilu ulang.

Dengan perkecualian hasil pada pemilu pada 2017, warga dari negara seperti Amerika Serikat cenderung sudah memberikan makna lebih mendalam pada demokrasi. Bukan lagi soal siapa yang menjadi presiden.

Isu warga negara di sana sudah lebih mengarah pada program seperti apa yang disiapkan kandidat untuk dijalankan bila terpilih. Lalu, dalam keseharian pun setiap warga negara berperan sebagai pengawas kinerja pemerintah dalam melayani rakyatnya.

Basis pada kualitas pelayanan yang jadi acuan utama dukungan dan atau penolakan pada hari-hari berikutnya sampai pemilu digelar lagi. Posisi tawar rakyat menjadi kurang lebih, “Apa yang menjadikan kualitas pelayanan pemerintahanmu lebih baik dibandingkan bila orang lain yang memerintah?”

Bagaimana dengan kita?

Harus diakui dengan kepala dingin dan lapang dada, literasi politik kita masih butuh banyak pembenahan. Meski bukan hal gampang mengukur tingkat literasi politik, frasa ini jelas bukan semata berarti pendidikan politik. Di sini, "kemalasan partai politik" menemukan lagi relevansinya, karena literasi politik adalah salah satu dari fungsi keberadaan partai politik.

Carol A Cassel dan Celia C Lo, misalnya, dalam riset yang mereka publikasikan pada 1997, membuat premis bahwa masyarakat dengan literasi politik tinggi setidaknya akan memahami perbedaan—bisa membedakan dengan rinci—setiap partai politik yang ada. Lalu, lanjut Cassel dan Lo, masyarakat itu akan tahu konsep dan fakta dasar politik.

Bernard Crick dalam Essays on Citizenship (2004) berpendapat, literasi merupakan gabungan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang karenanya membuat setiap warga negara dapat bertindak efektif dalam kehidupan publik.

Adapun pendidikan politik—bagian dari literasi politik—menurut Crick dapat dilakukan lewat jalur formal dan informal, dengan penekanan mulai dari penguasaan konsep hingga menguraikan masalah faktual yang dekat dengan kehidupan keseharian warga. Konsep yang dimaksud itu mencakup tataran negara, masyarakat, dan hubungan di antara keduanya.

Adapun Paulo Friere dalam bukunya Education for Critical Conciousness (2005), menyebut bahwa pendidikan politik juga berfungsi melakukan penyadaran untuk melahirkan nilai dan budaya baru sekaligus merekonstruksi masyarakat.

Nah, silakan menakar sendiri apakah premis-premis dan definisi itu sudah terjadi di Indonesia?

Bukan berarti tak ada yang bisa kita lakukan. Mengumpulkan, membandingkan, dan memilah informasi mengenai para kandidat dan atau partai pengusungnya bisa jadi pilihan.

Meski politik identitas—seperti kekerabatan, status sosial, asal-usul, dan keyakinan—kerap tak terhindarkan pula sebagai faktor penting dalam pengambilan keputusan soal pilihan politik, memahami lebih baik siapa yang dipilih dan tidak dipilih itu dengan informasi yang bisa dirunut penuturnya sepertinya bakal lebih mendewasakan pemikiran dan sikap politik kita.

Minimal, barangkali perlu dibangun pula kebiasaan untuk memverifikasi informasi sebelum menjadikannya sebagai acuan apalagi menyebarluaskannya. Lalu, karena kita baru berproses mendewasakan diri dalam demokrasi, sebaiknya pemilik hak pilih menggunakan haknya pada hari pemungutan suara.

Penggunaan hak pilih bukanlah kewajiban, sejatinya. Namun, saat kita bersama-sama menyadari masih ada yang perlu kita benahi dari kehidupan bernegara, penggunaan hak pilih adalah salah satu cara untuk menentukan pemimpin dan pengusung yang mana yang sekiranya memberi peluang harapan masa depan lebih baik bagi negara dan seluruh anak negeri ini.

Tabik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggap Jokowi Bukan Kader Lagi, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Anggap Jokowi Bukan Kader Lagi, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com