Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Palupi Annisa Auliani
Tukang Ketik

Pekerja media. Dari cetak, sedang belajar online dan digital, sambil icip-icip pelajaran komunikasi politik di Universitas Paramadina.

Nasib Rakyat, Dipaksa Menonton Drama Kemalasan Partai Politik

Kompas.com - 09/08/2018, 12:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBULAN ini, setidaknya, rakyat Indonesia telah dipaksa menonton drama elite politik menyongsong batas waktu pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Batas pengajuan calon ini menurut jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah 10 Agustus 2018.

Pertemuan di sini dan di sana, nama-nama yang disebut lalu disanggah, plus segala komentar yang bertebaran mengenai keduanya, jadi pemberitaan dan pembicaraan di mana-mana. Sudah begitu, dua gelembung besar perkubuan yang mencuat dan makin menggelembung sejak Pemilu Presiden 2014 seolah dirawat dan dipelihara.

Dari proyeksi 258-an juta rakyat Indonesia pada 2016 menurut Badan Pusat Statistik (BPS)—dengan 125 juta di antaranya berusia 15 tahun ke atas pada saat itu atau 17 tahun ke atas pada tahun ini—dan 15 partai politik nasional, bakal calon presiden yang terus didengungkan pun seperti hanya ada Joko Widodo dan Prabowo Subianto pilihannya. Apa iya?

Bukannya membangun kaderisasi dan memunculkan tokoh-tokoh berkapasitas sebagai pemimpin, partai-partai politik jauh-jauh hari malah sudah menguatkan kutub dukungan. Apa lagi pilihannya jika bukan merapat ke Joko Widodo yang notabene adalah petahana atau berseberangan dengannya di kubu Prabowo.

Baca juga: Prabowo dan SBY Bahas Tiga Hal, Salah Satunya soal Power Sharing

Kalaupun Partai Demokrat—dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penjuru—tampak sempat berupaya memindahkan kutub atau setidaknya menambah satu alternatif pilihan, kabar terakhir sepertinya menyurutkan peluang itu terjadi.

Bahkan, urusan untuk bakal calon wakil presiden pun bisa jadi bikin kening makin berkerut. Ini proses kaderisasi kepemimpinan nasional, semata kontestasi peluang kemenangan di pemilu, bagi-bagi kekuasaan di kalangan yang itu-itu lagi, atau malah kuat-kuatan ego antar-tokoh dan atau partai politik?

Selama tidak ada kejadian luar biasa—baca: negosiasi petinggi partai politik tidak menemukan kesepakatan—gelembung yang menghadap-hadapkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sangat mungkin akan kembali terjadi sampai tahun depan.

Bisa jadi pula, perseteruan dua gelembung besar ini berlanjut hingga 2024, sampai ada pemilu lagi, ketika kedua sosok tersebut tak dimungkinkan lagi berlaga entah karena habis “kuota” masa jabatan atau sebab usia.

Padahal, kalau ditelaah dan dibedah lebih dalam, benang merah dari semua peristiwa ini cuma satu, yaitu kemalasan partai politik. Semoga ini menghaluskan frasa “kegagalan partai politik”. Di dalamnya, kemalasan aktor—baca: elite, pengurus, dan anggota partai politik—juga tercakup. Apa pasal?

Ambang batas pencalonan presiden

Syarat berupa ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) ini kerap menjadi tameng, alasan, ataupun dalih, untuk menyatakan tidak gampang mengajukan calon presiden.

Merujuk Undang-Undang (UU) Pemilu—yang terbaru adalah UU Nomor 7 Tahun 2017—ambang batasnya adalah perolehan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara dari partai politik pengusung calon, berdasarkan hasil Pemilu Legislatif 2014.

Ketentuan itu tertera Pasal 22 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Lho, kok pakai syarat pemilu sebelumnya dan bukan pemilu legislatif pada tahun yang sama? Karena, pada Pemilu 2019 mendatang, pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar serentak, satu waktu, bersamaan.

Baca juga: Telunjuk Jokowi, Petunjuk Romahurmuziy, dan Sosok Mahfud MD

Balik dulu ke soal syarat minimal pencalonan, apakah hanya partainya Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang punya perolehan kursi DPR yang mencukupi untuk mengusung calon? Jawabannya tidak. Tepatnya, tidak ada yang bisa sendirian mengusung calon presiden.

Perolehan kursi DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)—partai asal Joko Widodo sekaligus pemenang Pemilu 2014—dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)—yang dipimpin Prabowo Subianto—tidak memiliki kursi DPR sampai 20 persen dari hasil Pemilu 2014.

Koalisi memang harus terjadi, karenanya. Namun, ambang batas itu juga tidak berarti mesti hanya digawangi PDI-P dan Gerindra. Merujuk buku Data dan Infografik Pemilu Anggota DPR RI dan DPD RI 2014 terbitan KPU, perolehan suara partai-partai politik dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Buku: Data dan Infografik Pemilu Anggota DPR RI dan DPD RI 2014 Perolehan Suara Partai Politik pada Pemilu 2014

Hitungan tersebut sudah mencakup suara yang diberikan pemilih kepada partai politik—karena tidak kenal calon legislatif yang disodorkan—dan yang langsung diberikan kepada calon anggota legislatif dari partai dimaksud.

Adapun konversi kursi DPR yang didapat partai politik dari perolehan suaranya, dapat dilihat pada gambar berikut ini, merujuk pada sumber buku yang sama.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com