Angka kursi per partai politik ini sedikit berbeda di sana-sini dengan jumlah dan daftar anggota DPR yang dilansir sekretariat parlemen. Perbedaan itu datang dari hasil sengketa pemilu—bahasa resminya perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU)—di Mahkamah Konstitusi. Namun, beda antara kedua data itu tak lalu membuat selisih besar secara persentase.
Dari kedua data tersebut, kasat mata jumlah minimal pengusungan calon presiden semestinya tidak hanya bisa ditopang oleh PDI-P dan Gerindra, bukan? Lalu, apa lagi masalahnya sampai pada kenyataan yang mencuat lagi-lagi sosok yang itu-itu lagi?
Efek ekor jas (coat-tail effect)
Dalam praktik pemilu di banyak negara, suara yang didapat partai politik dianggap bakal selaras dengan dukungan yang didapat kandidat presiden.
Efek ini di tataran teori politik disebut sebagai efek ekor jas (coat-tail effect), yang sejarahnya memang seharfiah itu, merujuk pada sosok yang dinilai sangat pantas memakai jas sehingga memukau pemilih dan terbukti dipilih.
Hingga Pemilu 2014, ketika pemilu langsung legislatif dan presiden masih terpisah penyelenggaraannya, setiap partai cenderung mengusung kandidat sendiri yang konon mau diusung di pemilu presiden.
Jadi atau tidaknya sosok itu diusung, ditentukan hasil pemilu legislatif. Bisa dibaca juga, hasil pemilu legislatif adalah bahan untuk menawar posisi terbaik di koalisi yang diperkirakan bakal menang.
Masalahnya sekarang, Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama bagi pemilu legislatif dan pemilu presiden. Berlangsung pada satu waktu, setiap pelaku politik yang mencalonkan diri menuju kursi parlemen—sudah begitu juga adalah pengurus partai—harus sekaligus memikirkan pemenangan dirinya, pemenangan partainya, dan pemenangan calon presiden yang diusung partainya.
Apa yang terjadi karenanya?
Pilkada Serentak 2018 jadi pengujinya
Maka, terjadilah hasil Pemilu Kepala Daerah (pilkada) Serentak 2018, yang kuat diduga merupakan “pengganti fungsi” pemilu legislatif pada pemilu-pemilu sebelumnya untuk beradu posisi tawar bagi pemilu presiden. Ibarat kata, pilkada ini menguji kekuatan partai dan mesinnya di daerah.
Kalau bahasa awam, kurang lebih gambaranan posisi tawar partai yang hendak dibangun dari pengujian itu adalah, “Hai calon presiden, ini basis dukunganku. Berkoalisilah denganku, kuamankan suara untukmu di wilayah basisku. Lalu, buat makin aman suaramu, jadikanlah aku sebagai calon wakilmu.”
Sebaliknya, hasil itu juga bisa berfungsi sebagai faktor pengancam bagi sosok atau koalisi yang tak dikehendaki pemenang pilkada di suatu daerah itu. Ujung-ujungnya, ada tawar-menawar juga berdasarkan realita suara di lapangan.
Baca juga: Sinyal Pilkada 2018 untuk Jokowi dan Pemilu 2019
Maka, tidak heran bila menjelang Pilkada Serentak 2018 yang baru saja usai itu, yang mencuat tak hanya kandidat kepala daerah tetapi juga figur-figur elite partai politik yang “beraroma” pemilu presiden. Tak sedikit pula klaim-klaim dukungan kepada kandidat yang diperkirakan berlaga di pemilu presiden, pada masa-masa pilkada tersebut.
Sebagai rakyat, apa yang bisa kita perbuat?
Pilihan paling gampang, ada sebagian orang yang memilih pasrah. Jadi apatis atau sebaliknya menyatakan kemuakan lalu berdiam diri; versi lain yang lebih “tajam” untuk ketidakberdayaan melihat realitas politik itu.
Toh, siapa pun presidennya, nasib kita mayoritas rakyat jelata ini pada akhirnya ditentukan dari kemampuan kita bekerja atau menyiasati kehidupan. Kita juga tak memilih lahir di negeri ini, bukan?