2. Mempidanakan Warga
Pasal berikutnya yang dibatalkan MK adalah pasal 122 huruf l UU MD3.
Pasal tersebut berbunyi: (MKD bertugas) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Baca juga: Margarito Kamis: UU MD3 Cocoknya di Zaman Feodal, Bukan di Zaman Modern!
MK mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan ketentuan pasal tersebut. "Pasal 122 huruf l [...] bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Anwar Usman.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, MKD bukanlah alat kelengkapan yang dimaksudkan sebagai tameng DPR untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai telah merendahkan martabat DPR atau anggota DPR.
Dengan menempatkan MKD sebagai alat kelengkapan yang akan mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai merendahkan martabat DPR, maka hal itu tidak lagi sesuai atau sejalan dengan kedudukan MKD.
"Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa MKD adalah lembaga penegak etik terhadap anggota DPR," kata Hakim Saldi Isra.
MK juga menilai frasa "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR" bersifat multitafsir. Frasa tersebut sangat fleksibel untuk dimaknai dalam bentuk apapun.
"Bahkan bila ditelisik rumusan norma tersebut, tidak terdapat penjelasan yang memberikan ukuran dan batasan mengenai ihwal apa saja dari perbuatan atau perkataan yang dapat dikategorikan sebagai telah merendahkan kehormatan DPR," kata Saldi.
Baca juga: Bvitri: UU MD3 adalah Bentuk Kekalahan Pemerintah Bernegosiasi dengan DPR
3. Imunitas
Terakhir, MK juga mengoreksi pasal 245 ayat (1).
Pasal tersebut semula berbunyi: Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Namun MK menilai pemeriksaan anggota DPR cukup mendapatkan izin Presiden, tanpa harus melalui pertimbangan dari MKD. MK pun menghapus frasa 'setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan' sehingga pasal tersebut berbunyi:
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa MKD tidak ada relevansinya dan tidak tepat dilibatkan memberi pertimbangan dalam hal seorang anggota DPR hendak diperiksa penegak hukum.
Baca juga: Sidang Gugatan UU MD3, Hakim Nilai Pemerintah Gamang
Sebab, MKD adalah lembaga etik yang keanggotaannya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga ada konflik kepentingan. Selain itu, MK juga menilai pemberian pertimbangan itu bertentangan dengan fungsi dan tugas MKD.
"Oleh karenanya, menurut Mahkamah, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan dilakukan penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan," kata Hakim MK I Dewa Gede Palguna.