Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Margarito Kamis: UU MD3 Cocoknya di Zaman Feodal, Bukan di Zaman Modern!

Kompas.com - 03/05/2018, 17:06 WIB
Fabian Januarius Kuwado,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) tidak cocok diberlakukan pada zaman sekarang karena sifat feodalistis yang ada pada UU itu.

"Pasal ini kalau saya boleh agak kasar, feodalistis. Tidak cocok ada di zaman modern seperti sekarang. Cocoknya di zaman dahulu, zaman feodal," ujar Margarito ketika memberikan keterangan dalam sidang uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (3/5/2018).

Pasal dalam UU MD3 saat ini, kata Margarito, menjadikan wakil rakyat seolah-olah jadi warga negara kelas satu. Pasal yang dimaksud, yakni 245 (ayat) yang memuat hak imunitas kepada setiap wakil rakyat.

Baca juga : Menangis di Sidang MK, Ayah korban Tewas Ditabrak Legislator Minta UU MD3 Dibatalkan

Selain itu, ada pula Pasal 122 huruf k yang memuat mekanisme kriminalisasi bagi siapa pun yang dinilai merendahkan martabat dan kehormatan DPR secara kelembagaan atau secara perseorangan.

"Di saat mereka menjalankan fungsi mereka, memang mereka ada keistimewaannya. Tapi ketika mereka melakukan tindak pidana biasa, seperti legislator yang nabrak orang di Ambon sampai meninggal, terus dia enggak bisa diperiksa karena MD3, apakah itu sama saja mereka ingin menjadi warga negara nomor satu?" ujar dia.

"Jadi sebenarnya, pasal ini adalah feodalisasi terhadap republik ini," lanjut dia.

Ia pun sekaligus mengingatkan prinsip konstitusi di Indonesia adalah setiap warga negara sama derajatnya di hadapan hukum.

Baca juga : UU MD3, Menggenggam Kekuasaan ala Orde Baru

"Pasal-pasal itu telah merontokkan prinsip kesamaan status seorang warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan. Apabila menggunakan prinsip itu, artinya semua warga negara sama, bisa diperiksa," ujar Margarito.

Sidang uji materi ini sendiri diagendakan menghadirkan 4 orang saksi yang dihadirkan oleh pemohon. Pemohon, yakni berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta tiga individu secara perseorangan.

Pemohon menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Pasal-pasal ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.

Kompas TV Salah satu yang menjadi sorotan dalam revisi undang-undang MD3 adalah bertambahnya pimpinan DPR, MPR.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com