JAKARTA, KOMPAS.com - Terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) merupakan bentuk dari kekalahan negosiasi politik pemerintah atas DPR RI.
Demikian diungkapkan Bvitri Susanti, akademisi sekaligus praktisi hukum, saat memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan oleh pemohon uji materi UU MD3 di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (3/5/2018).
Awalnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Bvitri mengelaborasi lagi soal siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas lahirnya UU MD3 ini.
Baca juga: Sidang Uji Materi UU MD3, MK Dengar Keterangan Ahli Pemohon
Sebab, Saldi merasa 'peluru' lebih banyak diarahkan kepada DPR RI, padahal seluruh UU dibahas bersama antara wakil rakyat dengan pemerintah.
Saat diberikan kesempatan menjawab, Bvitri setuju dengan pernyataan Saldi.
"Betul, ini merupakan bentuk kekalahan pemerintah di dalam negosiasi proses UU MD3 dengan DPR sebenarnya," ujar Bvitri.
"Ada dua alasan. Pertama, begitu UU ini disahkan di DPR, Presiden rupanya tidak bersedia menandatangani UU tersebut. Kedua, Presiden malah mendorong rakyat untuk melakukan uji materi UU ini di MK," lanjut dia.
Keyakinan Bvitri pun semakin kuat ketika kuasa hukum pemerintah memberikan keterangan pada sidang uji materi sebelum sekarang ini.
"Berkaca dari keterangan kuasa presiden yang dibacakan dalam sidang yang lalu, sebenarnya pemerintah itu sedang menceritakan pergualatan apa yang terjadi saat itu (proses pembahasan UU MD3)," ujar Bvitri.
Baca juga: UU MD3, Menggenggam Kekuasaan ala Orde Baru
"Maunya pemerintah apa, lalu DPR membawa proposal apa, negosiasi, kemudian kalah dan akhirnya tidak ditandatangani untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi," lanjut dia.
Meski demikian, Bvitri menganggap uji materi ini tetap harus dilanjutkan agar hal- hal yang dinilai memberikan ketidakadilan dalam UU tersebut bisa diuji sifat konstitusionalitasannya.
Sidang uji materi ini sendiri diagendakan menghadirkan 4 orang saksi yang dihadirkan oleh pemohon. Pemohon, yakni berasal dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) serta tiga individu secara perseorangan.
Pemohon menggugat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3. Pasal-pasal ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) sendiri menyatakan bahwa DPR berhak memanggil paksa melalui kepolisian, bila pejabat, badan hukum, atau warga negara tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Baca juga: Pemerintah-DPR Tak Kompak Hadapi Uji Materi UU MD3, Ini Kata Penggugat
Pasal 73 ayat (5) menyebutkan, dalam pemanggilan paksa, Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Pasal 122 huruf k dianggap telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Pasal itu memuat ketentuan legislator akan mengambil langkah hukum bagi siapa pun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggotanya.
Sementara itu, Pasal 245 ayat (1) memuat setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas. Ini dianggap mengancam kepastian hukum yang adil dan menciptakan diskriminasi di hadapan hukum.