Kekhawatiran petinggi militer memang beralasan. Sebab, jika massa gagal dikendalikan, dikhawatirkan massa akan merangsek ke sejumlah obyek vital, seperti Istana Kepresidenan, Mabes TNI AD, Studio RRI, hingga kantor kementerian lain.
Petinggi ABRI tak ingin mengambil risiko. Sejumlah tentara lengkap dengan kendaraan tempur pun diturunkan. Kawasan Monas ditutup dari segala penjuru. Barikade kawat berduri dipasang. Jakarta memang mencekam.
Melihat kondisi tersebut, Amien Rais pun membatalkan pengumpulan aksi massa di Monas pada 20 Mei 1998. Amien tidak ingin people power berubah menjadi tragedi berdarah.
Meski tak ada pengumpulan massa, Soeharto tetap terpojok. Sebab, 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinasi Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita membuat langkah mengejutkan.
Ginandjar bersama 13 menteri menolak permintaan Soeharto untuk bergabung dalam Komite Reformasi. Dalam surat yang disampaikan, ke-14 menteri itu bahkan meminta Soeharto mundur.
Rencana Soeharto untuk membentuk Komite Reformasi dan terjadinya transisi kepemimpinan hingga pemilu mendatang gagal. Setelah 32 tahun berkuasa, Jenderal Besar yang menyandang lima bintang di pundak itu memilih mundur.
Pada 21 Mei 1998 Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Gerakan reformasi memaksa Soeharto jatuh.