JAKARTA, KOMPAS.com - Penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai belum bersifat progresif alias masih setengah hati.
Jika pemerintah bersungguh-sungguh bahwa hukuman mati menjadi pidana alternatif, maka seharusnya ketentuan tersebut tidak dicantumkan dalam KUHP.
"Penerapan pidana mati ini setengah-setengah, karena dalam rumusan pasal, masih ada. Sebagai alternatif ini menjadi tidak progesif," kata pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Anugerah Rizki Akbari saat berbicara dalam diskusi "Membedah Konstruksi Pengaturan Buku I Rancangan KUHP" di Kampus STH Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (7/5/2018).
Baca juga: Secara Global, Tren Eksekusi Mati Tahun 2017 Mengalami Penurunan
Rizki mengatakan, sebagai hukuman alternatif, sebaiknya pidana mati tidak perlu lagi dicantumkan dalam RKUHP. Dengan begitu, aparat penegak hukum dapat memahami bahwa hukuman mati benar-benar menjadi upaya terakhir.
"Seharusnya kalau alternatif berarti dihapuskan sama sekali. Artinya harus benar-benar dihapuskan. Dengan begitu penegak hukum merujuk hukuman mati sebagai pidana alternatif dan benar-benar menjadi upaya terakhir," kata Rizki.
Dalam RKUHP, Pemerintah dan DPR sepakat untuk tak lagi menjadikannya sebagai hukuman pidana pokok, melainkan hanya menjadi alternatif saja.
Pasal 73 draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan pidana mati diancamkan secara alternatif terhadap tindak pidana yang bersifat khusus.
Baca juga: Indonesia Perlu Belajar dengan Iran dan Malaysia dalam Persoalan Eksekusi Mati
Seperti diketahui, penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif memicu kritik dari kalangan masyarakat sipil dan aktivis HAM.
Mereka memandang, meskipun hukuman mati ditempatkan sebagai pidana yang bersifat khusus, namun esensinya tetap ada sebagai sebagai pidana pokok.
Di sisi lain, ketentuan pidana mati dalam RKUHP dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan HAM internasional. Indonesia sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak sipil dan politik.
Baca juga: Pemerintah Diminta Moratorium Eksekusi Mati
Dalam konvenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Kemudian Indonesia meratifikasinya melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Selain melanggar konvenan internasional, penerapan hukuman mati juga melanggar pasal 28 UUD 1946 dan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 28A UUD 1945 menyebutkan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.