Pada persidangan sebelumnya, lanjut Era, pihak LBH telah menghadirkan tiga ahli hukum untuk memberikan keterangan.
Ketiga ahli tersebut adalah Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, ahli hukum Agraria dan hukum Kurniawan dan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Dalam keterangannya, para ahli menjelaskan bagaimana pengakuan terhadap masyarakat adat, banyaknya konflik-konflik negara dengan masyarakat akibat penetapan kawasan hutan yang sewenang-wenang serta bagaimana kasus-kasus semacam ini tidak tepat menggunakan pendekatan pidana.
Abdul Fickar Hadjar menerangkan, masyarakat hukum adat tidak dapat dipidana karena unsur pidananya tidak terpenuhi. "Bagaimana mungkin seseorang dipidana pada kawasan hutan yang penetapan kawasannya sendiri tidak ada, sehingga belum dapat disebut sebagai kawasan hutan," tuturnya.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin 19 Maret 2018 dengan agenda pembelaan.
Era berharap hakim memberikan keadilan dengan membebaskan kedua terdakwa. Menurut dia, vonis bersalah terhadap terdakwa adalah bentuk pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah yang telah dikelola secara turun temurun.
Nagari Koto Malintang sendiri adalah nagari yang memiliki kearifan lokal. Untuk menebang sebatang kayu pun harus melewati mekanisme izin yang sangat ketat, sekalipun kayu yang akan ditebang ada di tanah ulayat atau pusako tinggi sendiri.
Izin diperoleh secara berjenjang mulai dari pemilik ulayat, ninik mamak, KAN dan Wali Nagari.
Berkat kearifan ini pula nagari ini diberikan penghargaan Kalpataru tahun 2013 yang diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga menerima penghargaan Wahana Lestari tahun 2014 dari Kementrian Lingkungan Hidup.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.