JAKARTA, KOMPAS.com - Perluasan pasal zina dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat.
Perkawinan masyarakat adat umumnya dilakukan berdasarkan hukum adat dan tidak dicatatkan secara administrasi negara.
Sementara definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah yang dicatat oleh negara dalam administrasi kependudukan.
"Kalau misalnya ada penggerebekan dan mereka tidak bisa memperlihatkan bukti yang sah seperti buku nikah, mereka juga bisa kena, karena tidak dicatatkan dan bisa dikategorikan sebagai zina. Seharusnya ada pengecualian," kata Staf Direktorat Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tommy Indriadi Agustian saat dihubungi, Rabu (7/3/2018).
(Baca juga: DPR dan Pemerintah Sepakat Pasal Zina Tetap Diperluas dalam RKUHP)
Ia menyebutkan, Pasal 460 ayat 1 huruf e draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana karena zina dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
"Pasal zina yang diperluas ini agak dilematis. Kan ada kelompok lain yang kita sebut masyarakat adat sebagai penghayat kepercayaan. Masyarakat adat juga bisa kena," ujar Tommy .
Menurut Tommy, kendati Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengakui keberadaan penghayat kepercayaan, namun Kementerian Dalam Negeri belum memiliki mekanisme atau pedoman teknis pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan.
"Sekalipun sudah mengakui keberadaan penghayat kepercayaaan tetapi pengaturan teknis di dukcapil, pendataan kan belum ada. Nah bagaimana posisi perkawinan adat karena banyak yang tidak dicatatkan. Alasan Mendagri kan belum ada mekanisme atau pedoman teknisnya," tuturnya.