JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani meminta aparat penegak hukum menerapkan keadilan restoratif terkait kasus yang menimpa dua masyarakat adat hukum adat Nagari Koto Malintang di Padang, Sumatera Barat.
Agusri Masnefi dan Dt Samiak, dua masyarakat hukum adat Nagari Koto Malintang dituntut 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Lubuk Basung, pada Selasa (13/3/2018) lalu.
Jaksa penuntut umum menganggap mereka terbukti melakukan tindak pidana menebang pohon tanpa izin dalam kawasan hutan sebagaimana diatur Pasal 82 Ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Menurut Arsul, seharusnya kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat tidak mengesampingkan mekanisme hukum adat.
"Semestinya dalam kasus seperti itu penegak hukum menerapkan keadilan restoratif. Bentuknya ya dimusyawarahkan dengan masyarakat adat kalau dianggap perbuatan menyimpang secara adat dan kemudian diberi hukuman secara adat," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/3/2018).
"Misal, mengganti menanam pohon. Jadi tidak kemudian diselesaikan dengan melalui proses hukum yang biasa," ucap dia.
(Baca juga: Masyarakat Adat Kurang Mendapatkan Perlindungan Hukum)
Arsul menuturkan, dengan diterapkannya konsep keadilan restoratif, kasus-kasus yang berpotensi menimbulkan konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat adat bisa dihindari.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa menegasikan fakta adanya hukum adat yang masih berlaku di tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, kata Arsul, aparat penegak hukum bisa melibatkan pemangku kepentingan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan kasus. Dengan begitu, kasus yang dialami Agusri Masnefi dan Dt Samiak tak perlu diselesaikan secara pidana.
"Polisi punya kewajiban moral memproses hukum, tapi bukan untuk membuktikan kesalahan dia. Pemangku kepentingan masyarakat adat juga dijadikan saksi. Jadi arah penyidikan bukan untuk menghukum orang dan menerapkan hukum penjara atau denda," kata Arsul.
Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Era Purnama Sari menjelaskan bahwa kasus tersebut berawal saat Agusri berencana membuat kedai di tepi Danau Maninjau untuk usaha berjualan sate dan sekaligus sebagai tempat tinggal.
Agusri pun meminta izin kepada Ninik Mamak sebagai pemilik ulayat di Koto Malintang serta disetujui oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) serta Wali Nagari Koto Malintang untuk mengambil kayu milik kaum Istri Agusri yang terletak di Jorong Muko Muko.
Namun, Kepolisian Resor Agam dan BKSDA menangkap Agusri dengan klaim bahwa pohon merupakan kawasan hutan cagar alam.
"Nyatanya sampai saat ini pada area tersebut belum ada penetapan status kawasan hutan dan masyarakat tidak pernah mengetahui proses klaim kawasan hutan cagar alam oleh negara," kata Era melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (14/3/2018).
(Baca: Ingin Bikin Kedai di Tepi Danau Maninjau, 2 Warga Adat Ini Dituntut 10 Bulan Penjara)
Pada persidangan sebelumnya, lanjut Era, pihak LBH telah menghadirkan tiga ahli hukum untuk memberikan keterangan.
Ketiga ahli tersebut adalah Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga, ahli hukum Agraria dan hukum Kurniawan dan ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar.
Dalam keterangannya, para ahli menjelaskan bagaimana pengakuan terhadap masyarakat adat, banyaknya konflik-konflik negara dengan masyarakat akibat penetapan kawasan hutan yang sewenang-wenang serta bagaimana kasus-kasus semacam ini tidak tepat menggunakan pendekatan pidana.
Abdul Fickar Hadjar menerangkan, masyarakat hukum adat tidak dapat dipidana karena unsur pidananya tidak terpenuhi. "Bagaimana mungkin seseorang dipidana pada kawasan hutan yang penetapan kawasannya sendiri tidak ada, sehingga belum dapat disebut sebagai kawasan hutan," tuturnya.
Sidang berikutnya akan digelar pada Senin 19 Maret 2018 dengan agenda pembelaan.
Era berharap hakim memberikan keadilan dengan membebaskan kedua terdakwa. Menurut dia, vonis bersalah terhadap terdakwa adalah bentuk pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah yang telah dikelola secara turun temurun.
Nagari Koto Malintang sendiri adalah nagari yang memiliki kearifan lokal. Untuk menebang sebatang kayu pun harus melewati mekanisme izin yang sangat ketat, sekalipun kayu yang akan ditebang ada di tanah ulayat atau pusako tinggi sendiri.
Izin diperoleh secara berjenjang mulai dari pemilik ulayat, ninik mamak, KAN dan Wali Nagari.
Berkat kearifan ini pula nagari ini diberikan penghargaan Kalpataru tahun 2013 yang diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan juga menerima penghargaan Wahana Lestari tahun 2014 dari Kementrian Lingkungan Hidup.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.