JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR memastikan pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden akan tetap diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menyikapi hal itu, PDI Perjuangan menilai bahwa pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden perlu tetap ada, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan pasal tersebut.
"Dengan demokrasi yang kebablasan yang simbol negara pun kadang dilecehkan, maka itu perlu pengaturan," ujar Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto di Jakarta, Senin (4/2/2018).
Menurut Hasto, sebagai simbol negara, presiden dan wakil presiden sudah sepatutnya dihormati. Apalagi tutur dia, presiden dan wakil presiden merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat.
(Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Dinilai Membangkangi Konstitusi)
Meski begitu, PDI-P menilai, ada atau tidaknya pasal penghinaan presiden dalam KUHP, sikap menghargai dan menghormati kepada pemimpin harus tetap terbangun.
"Itu bagian dari budaya kita. Bukan hanya presiden, kepala desa, RT pun kita harus hormati," kata Hasto.
Ia juga yakin, adanya pasal penghinaan presiden di KUHP nantinya tidak akan digunakan pemerintah atau penegak hukum sebagai senjata untuk menjerat para pengkritik presiden.
"Kan pemerintahan yang demokratis, tidak akan represif," ucap Hasto.
Sebelumnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai bisa saja pasal penghinaaan presiden dalam Rancangan KUHP dihidupkan kembali sepanjang memiliki substansi yang berbeda dengan yang telah dibatalkan MK.
(Baca: Jika Substansi Pasal Penghinaan Presiden Sama Maka akan Kembali Dibatalkan MK)
Namun, ia mengatakan, akan percuma bila substansinya sama dengan yang telah dibatalkan oleh MK.
"Kalau sama tidak boleh, dan MK membolehkan kalau ada unsur baru. Sama juga kalau orang menggugat ke MK, sama gugatannya, itu tidak boleh," kata Mahfud di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (2/2/2018).
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.