JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan KUHP Arsul Sani mengklaim, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang saat ini dibahas berbeda dengan pasal lama yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Perbedaan itu, kata Arsul, terletak pada deliknya. Jika pasal lama merupakan delik umum, kini pasal tersebut menggunakan delik aduan.
Dengan demikian, presiden atau wakil presiden sendiri yang harus melaporkan.
"Jadi perlu dijelaskan bahwa secara norma dasar akan jadi sesuatu berbeda dengan pasal di KUHP sekarang yang sudah dibatalkan MK. Yang beda itu sifat deliknya yang tadinya delik umum dan biasa menjadi delik aduan," kata Arsul, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/2/2018).
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP Dinilai Membangkangi Konstitusi
Arsul menilai, mustahil jika pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dihilangkan dalam KUHP karena ada pasal yang memidanakan orang yang menghina kepala negara sahabat yang sedang berkunjung ke Indonesia.
Ia menjamin DPR akan mendengarkan masukan dari masyarakat sipil sehingga pasal penghinaan presiden dan wakil presiden tidak menjadi pasal karet.
Baca juga: Politisi Nasdem: Pasal Penghinaan Presiden Tak Langgar Demokrasi
"Kalau hina kepala negara lain saja dipidana, masa menghina kepala negara sendiri boleh, kan enggak matching," ujar Arsul.
"Tapi concern dari berbagai elemen masyarskat harus di-address agar enggak jadi pasal karet sehingga meskipun sudah jadi delik aduan, tapi tetap buka ruang bagi penegak hukum untuk enggak menafsirkan semau gue," lanjut politisi PPP itu.