JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Aliansi Indonesia Damai Hasibullah Satrawi mengapresiasi pemerintah yang mulai menaruh perhatian terhadap pemenuhan hak korban terorisme, baik secara medis, psikologis, hingga finansial.
Kendati demikian, ia menganggap kompensasi yang diberikan negara kepada korban belum maksimal.
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebenarnya sudah diatur mengenai kompensasi tersebut. Namun, regulasinya masih lemah.
"Hak kompensasi sampai hari ini belum pernah terimplementasikan secara sempurna. Secara putusan pengadilan sudah ada, tapi belum mendapatkan sebagaimana yang diamanatkan dalam hak-hak tersebut," ujar Hasibullah dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (25/1/2018).
Menurut Hasibullah, pemenuhan kompensasi dalam kasus terorisme semestinya tidak perlu menunggu putusan pengadilan.
(Baca juga: LPSK: Baru di Era Jokowi Ganti Rugi untuk Korban Terorisme Terealisasi)
Hal itu disebabkan korban membutuhkan bantuan sejak peristiwa itu terjadi. Oleh karena itu, ia mendorong agar undang-undang perlindungan saksi dan korban direvisi.
"Pemenuhan hak kompensasi bisa melalui putusan lembaga negara terkait persoalan terorisme. Sehingga korban bisa mendapat hak kompensasi lebih mudah dan dalam waktu secepat-cepatnya," kata Hasibullah.
Hasibullah mengatakan, kasus terorisme sedianya dipisahkan dari pidana lainnya. Oleh karena itu, mekanisme pemenuhan hak korban semestinya juga dipisahkan.
Di samping itu, AIDA mendorong agar dalam undang-undang terorisme diatur bahwa penanganan korban dalam masa kritis bisa mendapat penanganan medis lebih cepat dari rumah sakit.
Yang terpenting, tidak perlu menunggu persetujuan pihak yang menjamin administrasi.
"Belajar dari korban, banyak yang tidak dapat penanganan medis karena rumah sakit butuh kepastian siapa yang menjamin membayar biayanya," kata Hasibullah.
(Baca juga: Rumah Sakit Indonesia Jadi Korban Terorisme Cyber)
"Dengan norma ini diharapkan semua rumah sakit kalau terjadi terorisme, punya kewajiban untuk segera melakukan penanganan medis karena biayanya akan secara langsung ditanggung negara," lanjut dia.
Lebih baik
Hasibullah juga mendorong segenap lembaga negara bersinergi untuk memenuhi hak korban. Ia berharap pemerintah mau memperkuat regulasi yang mengatur pemenuhan hak korban supaya lebih sempurna.
Pihak yang memegang kuasa diminta mengenyampingkan kepentingan selain memberi kompensasi atas dasar kepedulian.
"Korban terlalu lama mengalami ketidakadilan dan menurut saya tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak memenuhi segala haknya," kata Hasibullah.
Meski begitu, kondisi saat ini dianggap lebih baik ketimbang penanganan korban teror di awal tahun 2000-an.
(Baca juga: ICJR: Kompensasi bagi Korban Terorisme Harus Diatur Spesifik)
Korban bom Bali, korban bom hotel JW Marriott, hingga korban bom di Kedutaan Besar Australia lambat mendapat penanganan dari pemerintah. Justru, bantuan dari orang asing, yayasan, hingga pihak swasta yang menanggung perawatan mereka.
Korban bom Kedubes Australia, Ramdhani mengatakan, sejak awal terkena dampak bom di samping kantornya, ia belum menerima bantuan pemerintah. Biaya pengobatan selama ini ditanggung Kedutaan Besar Australia.
"Obat obatan, saya dapat kabar, yang jamin dari pemerintah. Nyatanya nol persen. Sampai sekarang kedutaan Australia yang masih menjamin saya," kata Ramdhani.
Akibat peristiwa itu, kepala Ramdhani harua dijahit 17 jahitan karena tertancap beling. Bahkan, hingga sekarang rasa sakit di kepalanya tidak juga hilang. Oleh karena itu, satu bulan sekali, ia mengontrol kesehatan di RS Abdi Waluyo.
"Saya disarankan dokter rutin minum obat. Obatnya cuma sekedar vitamin buat kepala, ada juga buat obat nyeri," kata dia.
Hal senada diutarakan Tita Apriantini, korban bom JW Marriott. Hingga saat ini, biaya pengobatannya dijamin oleh Marriott Committee.
"Waktu dirawat sering dikasih DVD, mau nonton film apa hari ini, mau makan apa hari ini," kata Tita.