JAKARTA, KOMPAS.com - Korban tindak pidana terorisme hingga saat ini belum pernah mendapatkan kompensasi dari pemerintah atas kerugian yang dideritanya.
Padahal, pemberian kompensasi telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai menyebutkan, ada 328 korban terorisme di Indonesia yang belum pernah mendapatkan kompensasi dari pemerintah.
(baca: Ketua Pansus: Semua Sepakat Libatkan TNI Berantas Terorisme Bukan sebagai BKO)
Jumlah korban tersebut terhitung sejak peristiwa Bom Bali I pada 2002 silam.
"Korban tindak pidana terorisme berhak memperoleh kompensasi berupa kerugian yang timbul sebagai akibat dari terorisme. Namun, masih banyak korban teroris yang kesulitan mendapatkan haknya. Padahal hak ini sudah diatur dalam UU," ujar Haris dalam lokakarya di Hotel Lumire, Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Haris menuturkan, pemerintah selama ini hanya memberikan bantuan biaya pengobatan di rumah sakit.
(baca: TNI Bisa Jadi Sasaran Teror bila Dilibatkan dalam Pemberantasan Terorisme)
Namun, biaya untuk rehabilitasi maupun pengobatan medis jangka panjang belum pernah diberikan.
"LPSK menemukan fakta bahwa negara telah membayar biaya rumah sakit. Namun, setelah itu sudah angkat tangan. Masih belum ada yang memikirkan soal itu," tutur Haris.
Menurut Haris, sulitnya korban memperoleh hak tersebut disebabkan adanya prosedur yang mewajibkan kompensasi hanya bisa diberikan setelah amar putusan pengadilan.
Padahal, kata Haris, kompensasi tersebut dibutuhkan segera oleh korban untuk memperbaiki kehidupannya, baik secara medis, psikologis, maupun sosial.
Untuk itu, Haris berharap pemberian kompensasi terhadap korban terorisme tidak harus melalui pengadilan.
Haris menuturkan, skema asuransi dapat digunakan sebagai alternatif dalam pemberian kompensasi terhadap korban.
Dengan begitu, hak korban untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik dapat dipenuhi.
"Persoalan ada peradilan atau tidak itu bisa diabaikan. Mungkin lebih mudah kalau modelnya asuransi sesuai dengan penderitaan yang dialami korban. Kompensasi harusnya begitu," ucap Haris.