JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mengimbau masyarakat tak anarkistis menyikapi pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas Yerusalem, Palestina, sebagai Ibu Kota Israel, menggantikan Tel Aviv.
"Kami menyerukan agar tidak ada kelompok masyarakat atau komunitas yang memprotes dengan cara kekerasan," ujar Ketua DPP Bidang Hukum, PBNU Robikin Emhas di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (8/12/2017).
Menurut Robikin, penyampaian aspirasi dengan cara yang berlebihan, misalnya dengan kekerasan, hanya akan menimbulkan persoalan baru.
"Kami memahami jika ada keinginan agar pemerintah memanggil Dubes AS. Tapi sekali lagi, tindakan yang ada harus sesuai dengan koridor hukum dan peraturan, perundang-undangan yang berlaku, termasuk hukum internasional," ujar dia.
Baca: PBNU: Pengakuan AS atas Yerusalem Akan Buat Konflik Tak Berkesudahan
Robikin menganggap, tindakan Presiden Amerika Serikat tersebut amat melukai perasaan dan menimbulkan sentimen keagamaan khususnya kepada umat Islam.
"Tapi kami menyerukan segenap langkah protes apapun tidak boleh dilakukan dengan kekerasan. Sebab kalau protes dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh Islam maka itu juga akan mencoreng Islam itu sendiri," kata Robikin.
"Segenap protes silahkan dilakukan dengan keras tapi tetap dengan akhlakul karimah," lanjut dia.
"Kami sangat berharap, Pemerintah Amerika Serikat menarik pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan itu akan meredam gejolak yang ada dan potensi meluasnya pelanggaran HAM di Palestina," kata Robikin.
Pengakuan AS
Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Rabu (6/12/2017) waktu setempat.
Keputusan bersejarah itu disebut berisiko memicu timbulnya kekerasan baru di Timur Tengah.
Baca: Mengenal Yerusalem, Kota Suci Tiga Agama
Menurut Trump, Israel adalah negara yang berdaulat dengan hak seperti setiap negara berdaulat lainnya untuk menentukan ibu kotanya sendiri.