Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Didik Supriyanto
Kolumnis

Kolomnis, tinggal di Semarang, bisa dihubungi melalui didik.rangga@gmail.com. Selain menulis di beberapa media, Didik Supriyanto juga menulis sejumlah buku pemilu. Daftar buku-buku pemilu karya Didik Supriyanto bisa dilihat di https://goo.gl/8rSaEm

Obesitas Undang-Undang Pemilu: Kemalasan dan Kepentingan

Kompas.com - 29/11/2017, 12:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

BERKALI-KALI Presiden Joko Widodo mengeluhkan banyaknya peraturan perundang-undangan yang justru menjerat diri sendiri. Terakhir hal itu disampaikan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2017 di Jakarta, Selasa (28/11/2017) malam.

“Saya sudah pesan kepada wakil rakyat di DPR, tidak perlu membuat banyak undang-undang, nanti justru bertambah ruwet dan menghambat. Buat satu atau dua undang-undang yang berkualitas dan bermanfaat,” tegasnya.

Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H Laoly, saat ini terdapat kurang lebih 62.000 peraturan di berbagai instansi. Itu menyebabkan ketidakharmonisan, ketidaksinkronan, dan tumpang tindih peraturan yang satu dengan yang lain.

Para ahli hukum menyebut banyaknya peraturan itu dengan istilah "obesitas" hukum. Inilah yang membuat pemerintah dan masyarakat tidak bisa bergerak cepat untuk maju. Bangsa ini disandera oleh peraturan bikinan sendiri.

Obesitas hukum pada tingkat undang-undang perlu mendapat perhatian. Undang-undang yang banyak pasal cenderung buruk karena tidak hanya terdapat duplikasi pengaturan, tetapi juga kontradiksi ketentuan.

Baca juga : Putusan Bawaslu Tidak Mengejutkan, tetapi Merisaukan

Di samping itu, banyak hal yang mestinya diatur tetapi tidak diatur, sebaliknya hal yang tidak perlu diatur justru diatur.

Itulah yang terjadi dalam undang-undang pemilu, tidak terkecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No 7/2017) yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019.

Undang-undang ini disetujui dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 21 Juli 2017, disahkan Presiden pada 15 Agustus 2017, dan diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 16 Agustus 2017.

UU No 7/2017 terdiri atas 6 buku, 31 bab, 573 pasal, dan ditambah 3 lampiran. Dalam bentuk dokumen resmi seperti yang tercantum dalam lembaran negara, undang-undang ini terdiri dari 317 halaman undang-undang, 116 halaman penjelasan undang-undang, dan 33 halaman lampiran undang-undang. Inilah undang-undang paling tebal di Republik ini.

Gemuknya UU No 7/2017 sebetulnya bisa dipahami, sebab undang-undang ini menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemilu serentak 2019 nanti. Inilah pemilu yang membarengkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta presiden dan wakil presdien dalam satu hari H pemilihan.

Oleh karena itu UU No 7/2017 menggabungkan tiga undang-undang pemilu terakhir: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No 15/2011), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No 8/2012), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU No 42/2008).

Baca juga : Menyoal Bawaslu, Penampilan Baru, Wewenang Baru, Persoalan Baru

Sayangnya, penggabungan tersebut dilakukan dengan prinsip “asal gabung”. Pengaturan pelaksanaan tahapan dalam UU No 8/2012 dan UU No 42/2008 memang sudah disingkronkan. Tetapi UU No 15/2011 diambil secara utuh, lalu disatukan begitu saja, sehingga terjadi duplikasi pengaturan.

Padahal rincian tugas dan wewenang KPU dan Bawaslu dalam UU No 15/2011 sebetulnya sudah diatur dalam bagian pelaksanaan tahapan. Duplikasi ini tidak hanya menjadikan undang-undang gemuk, tetapi juga menimbulkan kontradiksi pengaturan. Hal ini terjadi lenbih karena kemalasan daripada ketidaktahuan pembuat undang-undang.

Soal kedua yang bikin UU No 7/2017 gemuk nan tebal adalah adanya 33 lampiran: pertama, lampiran tentang jumlah anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kbupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota; kedua, lampiran daerah pemilihan DPR dan DPRD Provinsi.

Kedua jenis lampiran tersebut sebetulnya tidak perlu: pertama, Pasal 10 dan Pasal 92 sebetulnya sudah mengatur jumlah anggota KPU dan Bawaslu; kedua, batang tubuh undang-undang juga sudah mengatur prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan.

Ketidakpercayaan pembuat undang-undang kepada KPU dan Bawaslu melatarbelakangi lahirnya lampiran jumlah anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kbupaten/Kota, serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Padahal jika Pasal 10 dan Pasal 92 itu disertai ketentuan tentang rumus menentukan jumlah anggota, lampiran tak diperlukan.

Baca juga : Ruwetnya Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

Sementara kepentingan jadi sebab lahirnya lampiran daerah pemilihan. Pasal 185-197 sudah mengatur jumlah kursi setiap daerah pemilihan dan prinsip-prinsip pembentukannya.

Artinya, berbasis data penduduk dan data wilayah terbaru, KPU sesungguhnya tinggal mengoperasionalkan pasal-pasal terebut untuk membentuk daerah pemilihan.

Namun pembuat undang-undang tidak membiarkan KPU membentuk daerah pemilihan berdasar pasal-pasal tersebut.

Pembuat undang-undang membentuk sendiri daerah pemilihan. Tetapi anehnya yang dibentuk hanya daerah pemilihan DPR dan DPRD Provinsi, sementara daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota pembentukannya diserahkan KPU.

Hal itu terjadi karena pembuat undang-undang mempertahankan daerah pemilihan DPR lama, meskipun daerah pemilihan itu melanggar prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan.

Baca juga : Partai Lama Masuk Perangkap Bikinan Sendiri

Misalnya, Daerah Pemilihan DPR Jawa Barat III terdiri atas wilayah Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor.

Jelas ini melanggar prinsip integralitas wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 1985, karena antara wilayah Kebupaten Cianjur dan Kota Bogor terdapat wilayah Kabupaten Bogor.

Contoh daerah pemilihan lain yang “meloncat” itu adalah Daerah Pemilihan DPR Kalimantan Selatan II yang meloncati wilayah Kabupaten Banjar.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com