JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berharap penahanan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto menjadi pintu masuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi e-KTP.
Menurut Lucius, selain fokus pada proses hukum terhadap Setya Novanto, KPK masih punya tanggung jawab berat untuk membuktikan keterlibatan politisi-politisi lain di DPR, terutama mereka-mereka yang namanya sudah disebut dalam persidangan terdakwa sebelumnya.
"Ada begitu banyak nama yang diduga terlibat dalam prahara e-KTP ini. Dan tentu saja jika peran Setnov menjadi kunci, maka kepastian akan dugaan keterlibatan politisi-politisi lain di DPR maupun eksekutif harus juga secepatnya diproses oleh KPK," ujar Lucius saat dihubungi, Senin (20/11/2017).
Lucius mengatakan, penahanan Novanto membuktikan bahwa mereka yang diduga terlibat tak lagi memiliki tameng pelindung dari KPK.
Baca juga : Idrus: Setya Novanto Ikhlas Lepas Jabatan Ketua Umum Golkar
KPK, kata Lucius, ingin membuktikan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.
"KPK telah membuktikan bahwa mereka sesungguhnya tak punya ketakutan dengan semua bentuk perlawanan bahkan dengan tameng kekuasaan sekalipun. KPK mau membuktikan bahwa semua sama di depan hukum, dan oleh karena itu siapa saja bisa ditersangkakan oleh KPK hingga menahannya jika ada bukti yang menunjukkan dugaan keterlibatan seseorang," kata Lucius.
"Mereka yang dengan segala macam cara ingin bersembunyi di balik kekuasaan untuk meluputkan diri harus sadar bahwa itu semua tak akan membuat KPK terhenti untuk memproses mereka jika ada bukti untuk itu," ucapnya.
Baca juga : Melihat Ekspresi Novanto dan Bekas Benjolan Bakpao Saat Tiba di KPK
Novanto sebelumnya berkali-kali mangkir dari panggilan KPK, baik untuk diperiksa sebagai saksi maupun tersangka kasus e-KTP.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.