JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memanggil paksa Ketua DPR RI Setya Novanto.
Novanto tiga kali tidak memenuhi pemanggilan sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka Dirut PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudihardjo.
"Kalau kita bicara mengenai penggunaan kekuatan, tentu KPK bisa melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah menahan yang bersangkutan," ujar Refly, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).
Sejumlah alasan bisa menjadi landasan KPK.
Baca: Dipanggil KPK, Istri Setya Novanto Juga Beralasan Sakit
Refly menyebutkan, KPK bisa melakukan panggilan paksa jika menilai sikap Novanto merintangi penyidikan, tidak kooperatif, dan berkehendak menghilangkan barang bukti.
"Dan KPK sudah melakukan itu terhadap tersangka- tersangka korupsi lainnya," kata Refly.
Adapun, Novanto juga menggugat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal yang digugat berkaitan dengan hak imunitas anggota dewan dan pencekalan.
Baca juga: Tolak Diperiksa, Ini Isi Surat Setya Novanto kepada KPK
Menurut Refly, panggilan paksa tetap bisa dilamukan meski gugatan tersebut belum diputus oleh MK.
Sebab, prosedur MK menjelaskan bahwa undang-undang yang diuji tetap berlaku hingga ada putusan yang menyatakan undang-undang itu batal.
"Jadi undang-undang itu memberikan hak secara clear kepada KPK untuk bisa memanggil seorang tersangka bahkan menahan tersangka, sebelum undang-undang itu dibatalkan eksistensinya maka itu tetap bisa digunakan," ujar Refly.
Hal ini, kata dia, berbeda dengan gugatan uji materi terkait hak angket. Refly mengatakan, dalam gugatan tersebut ada area abu-abu yang perlu penafsiran MK.
"Tapi dalam kasus ini tidak ada keraguan. KPK punya kewenangan untuk melakukan penyidikan kepada siapapun di negeri ini dalam kasus korupsi tidak peduli apa jabatannya sekalipun Presiden RI," ujar Refly.
Baca juga: Pengacara Novanto Dinilai Bisa Kena Pasal "Obstruction of Justice"