JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa 39 saksi dalam kasus penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Puluhan saksi itu diperiksa untuk mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsjad Temenggung, yang telah jadi tersangka.
"Hingga hari ini total sekitar 39 saksi telah diperiksa untuk tersangka SAT dalam perkara TPK (tindak pidana korupsi) pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN," kata Febri, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (12/10/2017).
Dari para saksi tersebut, lanjut Febri, KPK terus mendalami terkait dengan proses penerbitan SKL. Penerbitan SKL ini menurut KPK tdiduga tidak tepat karena seharusnya penerbitan SKL dilakukan jika kewajiban dari obligor sudah selesai.
"Ternyata menurut hasil audit investigatif yang dilakukan masih ada kewajiban yang belum selesai yang diduga sebagai kerugian keuangan negara di sini yaitu sekitar Rp 4,58 triliun tersebut," ujar Febri.
(Baca: Hasil Audit BPK, Kerugian Negara Korupsi BLBI Capai Rp 4,58 Triliun)
Nilai kerugian negara itu lebih tinggi dibandingkan yang diperkirakan KPK sebelumnya yang sebesar Rp 3,7 triliun. Adapun nilai terbaru itu berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 25 Agustus 2017.
Febri mengatakan, tersangka Syafruddin sendiri telah diperiksa satu kali pada 5 September 2017. Saat itu penyidik baru menggali informasi tentang pengangkatan, tugas dan fungsi tersangka sebagai sekretaris KKSK dan Ketua BPPN.
"Pada pemeriksaan selanjutnya direncanakan baru akan masuk materi utama," ujar Febri.
Kasus SKL BLBI ini terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI, yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat Presiden RI.
Syafruddin dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.