JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, dihadirkan sebagai ahli dalam sidang praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Chairul ditanya soal proses penyelidikan hingga penetapan tersangka.
Chairul mengatakan, penetapan tersangka baru bisa dilakukan di tengah atau akhir proses penyidikan.
Sementara dalam proses penyelidikan, penyelidik hanya mencari alat bukti untuk mencari peristiwa pidana.
"Saya memandang dalam penyelidikan KPK sudah menentukan pelakunya. Tapi jangan ditetapkan dulu. Nanti tunggu proses penyidikan," ujar Chairul dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/9/2017).
Chairul mengatakan, dalam proses penyelidikan, KPK mencari dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkannya ke tahap penyidikan.
KPK memiliki tugas berat dibandingkan penyelidik pada penegak hukum lain karena tidak punya kewenangan penghentian penyidikan. Namun, alat bukti tersebut tidak cukup menjadi dasar untuk menetapkan tersangka.
KPK harus mencari alat bukti baru di tingkat penyidikan untuk menetapkan tersangka.
"Bisa ditetapkan tersangka kalau sudah jadi alat bukti di penyidikan. Di penyelidikan namanya berita acara interview, di penyidikan BAP saksi," kata Chairul.
(Baca juga: Pengacara Novanto Bawa Laporan 10 Tahun Kinerja KPK yang Diperoleh dari Pansus DPR)
Di samping itu, Chairul berpendapat bahwa calon tersangka sudah harus diperiksa sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 terkait frasa "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup".
Chairul mengatakan, sebenarnya memeriksa calon tersangka di luar lingkup dua alat bukti yang cukup. Pemeriksaan tersebut lebih pada prosedur yang harus dijalani untuk pemenuhan hak asasi manusia orang tersebut.
"Hanya memberikan kesempatan calon tersangka untuk menjelaskan perkara menurut versinya. Ini sebagai bagian prosedur penetapan tersangka, bukan kaitan dengan alat bukti. Tidak ada bukti dari keterangan calon tersangka," kata Chairul.
Setya Novanto mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka oleh KPK pada kasus korupsi pengadaan KTP elektronik atau e-KTP. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017 lalu.
Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus e-KTP.
Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, ia diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh anggota DPR.
Selain itu, ia diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.